Rabu, 29 Juni 2011

PT.Gajebo


Buatan si Vickry.
Aku yang di atas sebelah kiri :3 hahaha

June, 29





Selasa, 28 Juni 2011

He is Mine - Chapter.1

Aku tersenyum melihatnya memeras handuk kecil dari mangkuk berisi air dingin.
“Alex,” panggilku pelan. Ia menatapku.
“Apa?” tanyanya sinis. Aku tertawa.
“Apa sih?Malah ketawa.” Ucapnya lagi.
“Kamu kesal?” tanyaku hati-hati.
“Kamu pikir?” tanyanya balik.
Aku hanya tersenyum, nampaknya ia benar-benar cemas.
“Aku baik-baik saja,” jawabku.
“Oh ya? Sampai pingsan? Apa itu baik-baik saja? Apakah ini kebiasaanmu?!” tanya Alex dengan nada meninggi.
“Kebiasaan apa?” tanyaku bingung. Alex menggelengkan kepalanya.
“Menyembunyikan rasa sakitmu.” Jawabnya datar.
“Aku baik-baik saja, sungguh. Aku hanya lelah, tidak terlalu parah.” Balasku. Alex hanya diam. Lalu ia menempelkan handuk kecil itu di keningku pelan-pelan.
“Tidurlah, kamu butuh istirahat.” Ucapnya datar tanpa menatapku lalu berdiri. Aku segera menarik tangannya.
“Alex?”
Ia menatapku, “Aku ada di sofa luar jika kamu membutuhkanku.” Ucapnya.
“Kamu marah?” tanyaku.
“Karena aku peduli padamu.” Jawabnya.
“Maaf,” ucapku.
“Sudahlah, cepatlah tidur!” serunya menunduk mendekati wajahku lalu mencium pipiku lembut.
***
Aku dimana ini? Langit begitu gelap. Yang kulihat di depan hanya hamparan tanah kering. Nampaknya begitu panas namun aku malah merasakan dingin.
“Kamu.” Suara itu mengejutkanku, aku membalikkan badan dan ku lihat seorang wanita menatapku tajam. Rambutnya di ikat satu ke belakang, matanya bulat dan tajam, tatapannya menusuk. Aku tidak mengenalinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya.
Aku hendak menjawab tapi aku tak dapat mendengar suaraku. Apa ini? Kenapa suaraku tidak keluar? Sekuat tenaga aku mencoba kembali bicara tapi tetap sunyi, tak ada suara yang keluar.
“Tak mau bicara? Bisu?!” tanyanya semakin keras. Ia mendekatiku, dan aku pun mundur selangkah demi selangkah saat dia semakin mendekatiku.
“Kamu mau mati?” tanyanya tersenyum sinis sembari menengok ke belakangku. Aku menoleh ke belakang dan aku sudah berada di bibir jurang. Aku kembali melihat ke depan.
“Matilah!” serunya sembari mendorongku keras.
“AAAAAA!!!!!” Teriakku.
Ku tatap langit-langit kamarku. Hah, hanya mimpi. Ku rasakan peluh membajiri seluruh tubuhku. Ku ambil handuk kecil dari keningku dan menjatuhkannya ke mangkuk di sebelahku.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, muncul Alex setengah berlari ke arahku. Ia duduk di sampingku lalu mengusap wajahku. Ia tampak cemas.
“Mimpi buruk?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Tenanglah,” ucapnya pelan. Aku mengangguk lagi.
“Mau ku temani?” tanyanya.
“Hah?Bagaimana caranya?” tanyaku.
“Aku akan pakai kasur lipat di lantai.” Jawabnya. Aku terdiam sebentar lalu mengangguk. Entah kenapa aku merasa sedikit takut. Mimpi tadi itu…. Ah. Wanita itu juga sangat mengerikan, ia sepertinya senang sekali mendorongku ke jurang.
“Tunggu sebentar.” Ucapnya lalu beranjak meninggalkan kamarku.
Tak lama kemudian Alex membawa kasur lipat, guling, bantal, dan juga selimut. Ia menghamparkan kasur lipat di sebelah tempat tidurku. Kemudian ia menata bantal, guling, dan selimutnya. Lalu ia kembali duduk di sebelahku.
“Kamu berkeringat.” Ucapnya sembari mengambil handuk kecil di dalam mangkuk, diperasnya sebentar lalu mengusap wajah dan leherku pelan.
“Apa yang kamu rasakan?” tanyanya.
“Jantungku berdetak kencang.” Jawabku pelan.
“Tarik napas dan hembuskan. Itu bisa membuatmu tenang.” Ucapnya.
“Kehadiranmu di sini sudah cukup membuatmu tenang.” Balasku tersenyum.
“Kamu ini ckckck. Sudah, kembalilah tidur. Aku juga akan tidur.” Ucapnya menyimpan handuk kecil itu di dalam mangkuk lalu berdiri dan berbaring di kasur lipat.
“Alex,” panggilku.
“Apa?” tanyanya.
“Hanya memastikan.” Jawabku.
“Haha, tidurlah!” serunya. Aku tersenyum tenang dan kembali memejamkan mata, kali ini aku tak lupa berdoa.
***
Suara TV di luar terdengar. Perlahan aku membuka mata. Dari jendela kamar yang terbuka aku tahu, pagi sudah datang ternyata. Aku menghembuskan napas pelan. Perlahan aku bangun dan turun dari kasur. Tapi, saat aku mencoba berdiri, kakiku terasa linu sekali. Aku kembali terduduk. Aku mencoba lagi berdiri dan aku terjatuh lagi ke atas kasur. Ada apa dengan kakiku? Tak biasanya seperti ini. Lututku terasa linu sekali. Untuk yang ketiga kalinya aku mencoba berdiri lagi. Kali ini aku paksakan dan aku terjatuh ke bawah lantai.
“ALEX!!” Pekikku. Kepalaku cukup membentur lantai dengan keras. Lututku semakin terasa linu, begitu juga dengan mata kakiku.
“Oh Tuhan!” seru Alex sembari mendekatiku. Ia mengangkat punggungku pelan.
“Kenapa bisa begini?!” tanyanya.
“Aku tak bisa berdiri,” ucapku parau. Alex langsung mengangkat tubuhku dengan satu gerakan ke atas kasur. Ia membaringkanku pelan.
“Apa yang kamu rasakan?!” tanyanya cemas.
“Kakiku terasa linu..” jawabku.
“Dimananya?!” tanya Alex.
“Lutut dan mata kaki…” jawabku. Alex memijit kakiku. Rasanya seperti di remas. Sakit sekali.
“Kamu membuatnya tambah parah!!” pekikku. Alex langsung menjauhkan tangannya.
“Maaf-maaf. Mau ku bawa ke dokter?” tanyanya.
“Gak, gak usah..” jawabku.
“Kita bisa memeriksa kakimu!” seru Alex.
“Gak, aku akan baik-baik saja. Nanti juga akan sembuh.” Balasku.
“Hah, kamu ini.” Ucapnya menatapku kesal. Mungkin aku memang keras kepala.
***
Ada apa dengan kakiku pagi ini? Sungguh menyebalkan dan menyakitkan! Baru kali ini kakiku seperti ini. Aneh dan membingungkan..
Kali ini aku kembali berdiri dan berhasil. Saat membuka pintu kamar, ku lihat Alex sedang duduk di sofa dengan memegang handphone di telinga. Aku mendengar sedikit.
“…maafkan aku, sepertinya kali ini aku tidak bisa datang. Tunanganku sedang sakit. Mungkin lain kali aku bisa datang. Sekali lagi maafkan aku,…”
Tunangan? Aku ya? Ah…kenapa aku menjadi alasannya…
Setelah ia menutup telfonnya, aku mendekatinya. Ia nampak kaget melihatku, aku duduk di sampingnya.
“Siapa tadi?” tanyaku.
“Ah itu, teman lamaku baru pulang dari Sydney, ia mengajakku makan bersama dengan teman-teman yang lain.” Jawabnya.
“Kamu tidak ikut?” tanyaku.
“Aku kan menjagamu di sini..” jawabnya.
“Aku sudah sehat kok. Kamu pergi saja, berkumpulah dengan teman-temanmu, masa kamu tidak menyambutnya… pergilah…aku tidak mau menjadi penghalangmu..” ucapku. Ia tersenyum lalu menggelengkan kepala.
“Kamu mengusirku?” tanyanya.
“Apa? Aku kan hanya mau berbuat baik pada tunanganku..” ucapku pelan. Ia tertawa kecil.
“Baiklah aku akan pergi… Tapi,”
“Tapi apa?” tanyaku kesal.
“Aku akan pergi bersamamu. Bagaimana?” tanyanya.
“Aku? Ini kan acara dengan teman-temanmu. Untuk apa aku ikut?” tanyaku.
“Ayolah…temanku juga pasti bawa pasangan mereka masing-masing.” Ucapnya. Aku menatapnya dan berpikir.
“Kamu kan pasanganku… bagaimana?” tanyanya menatapku jahil.
Aku mendorong wajahnya jauh dan tertawa, ia juga tertawa.
“Baiklah, aku ikut denganmu.” Ucapku.
“Nah, itu baru pasanganku.Besok kita pergi jam 3 sore.” Ucapnya.
“Hahahaha… hentikan Alex!”
“Kenapa? Kamu kan memang pasanganku.”
“Aaaaa sudah! Aku geli mendengarnya!”
“Pasanganku?”
“Hahahaha… hentikan itu!!!!!!” seruku dengan tawa lepas.
***
Setelah sampai di tempat parkir, kami pun turun dari mobil. Alex menggandeng tangaku kuat. Ia nampak tampan sekali dengan jins hitam, kaus abu-abu tua dan kemeja kotak-kotak warna abu-abu. Sedang aku... dress biru tua, jins hitam dan cardigan yang senada dengan dress-ku. Aku merasa payah berjalan di sampingnya.
Sebelum memasuki cafe, Alex tersenyum padaku. Ia tak melepaskan tanganku sedikit pun.
Sampai di sebuah meja makan yang cukup besar. Ku lihat teman-teman Alex sudah berkumpul. Mereka sedang mengobrol dan tertawa bersama.
“Alex! Sahabatku! Hahaha.” Seru salah seorang pria mendekati Alex dan memeluknya.
“Oh iya, ini tunanganku, Luna.” Ucap Alex memperkenalku kepada teman-temannya. Aku hanya bisa tersenyum dan menunduk beberapa kali.
“Alex?” suara itu mengejutkanku dan Alex. Aku berbalik dan ku lihat seorang wanita cantik tinggi semampai dengan dress se-lutut. Wanita itu mendekati kami namun sebenarnya mendekati Alex.
“Clara?” tanya Alex tersenyum.
“Sudah lama tidak bertemu ya, kamu masih tampan seperti dulu.” Ucap wanita itu.
Telingaku panas mendengar wanita itu menyebut Alex tampan. Dan mereka pun mengobrol membelakangiku. Alex seperti lupa akan diriku. Semua teman-temannya pun saling mengobrol tanpa menghiraukanku.
“Aku ke toilet ya,” ucapku pada Alex, dan sepertinya ia tak mendengarku. Aku langsung saja mencari toilet di cafĂ© itu, kali ini hatiku juga panas..
Sampai di toilet aku mencuci muka dan menghembuskan napas panjang. Wajah wanita yang bernama Clara tadi terbayang di kepalaku. Ia begitu cantik, pantas saja Alex sampai tidak mempedulikanku begini. Hah, untuk apa juga aku mau ikut ya? Kalau akhirnya aku hanya diam di toilet.. hah...
Aku pun keluar dari toilet, ku lirik,kali ini mereka tertawa bersama.. ya Alex dan wanita bernama Clara itu. Mereka juga menyatu dengan teman-teman mereka yang lain.
Sepertinya aku pergi saja dari sini. Ya, lebih baik aku pergi saja. Aku pun mulai berjalan menuju pintu keluar.
“Luna!” teriak Alex, aku terdiam dan menoleh, ia berjalan setengah berlari mendekatiku. Wajahnya nampak berseri.
“Aku pulang duluan ya,” ucapku cengar-cengir. Alex mengerutkan kening.
“Kita kan baru sebentar,” ucap Alex.
“Mmm…aku lelah, lebih baik aku pulang saja..” balasku. Alex mengusap rambutku, aku menghindar sedikit, entah mengapa aku malah menghindar..
“Baiklah, aku bilang dulu dengan yang lain ya, kita berangkat bersama, kita juga pulang bersama.” Ucapnya.
“Ah, biar aku pulang sendiri saja. Kembalilah bersama dengan teman-temanmu.. kan tidak enak masa sudah pulang lagi..” ucapku.
“Tapi kamu-“
“Aku bisa pulang sendiri.” Ucapku se yakin mungkin. Alex terdiam menatapku dan menghela napas.
“Baiklah, hati-hati ya, naik taksi saja, langsung pulang ke apartemenmu.” Balasnya. Aku hanya tersenyum lalu kembali berjalan.
“Luna,” seru Alex pelan. Aku berbalik dan tiba-tiba saja ia mencium keningku. Lalu kemudian menatapku sembari tersenyum.
“Apa yang kamu lakukan?!” tanyaku setengah berbisik. Alex tertawa.
“Mencium keningmu. Memangnya kenapa?” tanyanya balik.
“Ini kan tempat umum!” jawabku.
“Aku tidak peduli. Yang penting orang lain tahu kamu milikku,” ucapnya tersenyum.
“Ah, ya sudah, aku pulang dulu!” balasku dan kali ini benar-benar berjalan pulang. Aku menoleh ke belakang dan ku lihat Alex melambaikan tangannya. Aku hanya tersenyum.
Taxi pun berhenti tepat di depanku, aku langsung menaikinya.
Saat aku sudah berada di dalam taxi, sekilas aku melihat Clara menghampiri Alex.. ah..hatiku terasa sesak..
***
Sampai di rumah aku langsung tidur. Bangun-bangun jam 8 malam karena telfon dari Alex.
“Halo?” sapaku malas. Aku masih ngantuk.
“Tidur ya?” tanyanya.
“Iya…hoaaam…” jawabku sembari menguap.
“Mmm…sepertinya malam ini aku pulang ke apartemenku. Tidak apa kan? Kamu masih sakit?” tanyanya.
Aku merasa sedikit kecewa.
“Kenapa? Tapi, tidak apa-apa kok, aku sudah sembuh lagipula..” jawabku.
“Aku masih bersama teman-teman, kami akan ke tempat karaoke.. benar tidak apa-apa?” tanyanya lagi.
Karaoke? Ah- entah mengapa kedengarannya tidak enak.
“Iya, aku baik-baik saja.” Jawabku datar.
“Hmm..baiklah, aku tutup ya?”
“Iya, dah..” jawabku.
“Dah..” Dan klik. Aku pun kembali tidur, entah kenapa wajah wanita bernama Clara itu kembali memenuhi pikiranku. Apa akan terjadi sesuatu di antara mereka? Aaaaa! Aku percaya Alex kok. Tapi, aku hanya seorang wanita.. aku pantas untuk cemburu kan? Dan aku pantas mencemaskan Alex kan? Hah…
***
Pagi yang cerah, tapi daritadi bangun hingga sekarang aku belum juga tersenyum. Entah apa yang terjadi, awan gelap sepertinya menutupi hatiku.
Aku duduk diam menonton TV ditemani se cangkir teh hangat. Aku tak tahu acara apa yang ku tonton. Karena pikiranku sama sekali bukan ke TV. Tapi Alex, ya Alex. Aku masih mencemaskannya. Dan Clara. Apa Clara itu mantan Alex? Tapi Alex tak pernah menceritakannya…
Tiba-tiba bel apartemenku berbunyi, dengan langkah malas aku menghampiri pintu apartemenku dan mengintip dari lubang kecil di pintu, Alex. Aku membuka pintu perlahan.
Ia tersenyum, ia tampak begitu bahagia dan segar sembari membawa satu pot kaktus kecil.
“Aku tak disuruh masuk?” tanyanya menahan tawa. Aku hanya berlalu menjauhinya dan kembali duduk di sofa depan TV. Alex menghampiriku dan ikut duduk. Ia menaruh pot kaktus yang ia bawa di meja kecil samping sofa.
“Kamu kenapa?” tanya Alex.
“Tidak…hanya merasa sedikit pusing.” Jawabku.
“Sakit lagi? Kita ke dokter ya?” tanya Alex begitu cemas. Aku menggeleng.
“Tidak usah,nanti juga sembuh, ini hanya pusing biasa.” Jawabku.
“Kalau begitu aku pijit saja ya kepalamu?” tawar Alex.
“Tidak usah.” Jawabku datar.                                   
Kami pun terdiam. Aku membisu menatap layar TV. Alex juga begitu. Tapi aku tahu, pikiran kami melayang kemana-mana. Tak fokus pada TV.
Aku masih memikirkan wanita bernama Clara itu.
Alex tampak begitu senang saat bertemu dengannya. Clara begitu cantik. Ia bagai model, atau memang benar-benar model? Rambutnya hitam legam bergelombang, pipinya merah merona saat tersenyum, dan sepertinya ia mempunyai selera fashion yang bagus.
Bahkan Alex sampai bisa lupa padaku saat ia begitu asyik mengobrol dengan Clara.
Hah…aku mengelus dada beberapa kali. Tabahkan hatimu Luna. Ucapku berkali-kali di dalam hati.
Aku beranjak dari sofa.
“Mau kemana?” tanya Alex.
“Aku mau ke dapur.” Jawabku datar tanpa menoleh padanya sedikit pun.
Aku seperti setengah berlari menuju dapur. Hah, ada apa denganku? Sampai di dapur aku diam, aku bingung mau melakukan apa di sini. Bodohnya aku.
“Luna,”
“Aaaah!!” teriakku. Aku kaget setengah mati!
“Kamu kaget?” tanya Alex menahan tawa.
“Kamu ini… sudah jelas-jelas aku teriak, masih juga bertanya!” jawabku kesal. Alex malah tertawa. Ya, ia selalu tertawa jika aku melakukan hal bodoh. Tunangan macam apa itu!
“Maafkan aku ya…” ucapnya mengelus rambutku pelan sembari tersenyum.
Senyumnya, aku selalu menyadari bahwa senyumnya adalah hal yang terindah di dunia ini. Aku tak mau kehilangan senyum itu. Senyum yang membuatku merasa tenang dan nyaman di sampingnya. Senyum itu hanya untukku..
“Oh iya, kamu mau ikut denganku?” tanyanya.
“Ikut kemana?” tanyaku balik.
“Hari ini aku akan bertemu dengan seorang client, hanya sebentar kok. Setelah itu kita akan jalan-jalan. Bagaimana?” jawabnya.
“Di hari Minggu ini pun masih bertemu client?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. Aku berpikir sebentar. Jalan-jalan? Hmmm…
“Baiklah, aku ikut.” Jawabku tersenyum. Akhirnya, pagi ini aku tersenyum juga.
***
Tepat pukul 08.00 pagi kami pun berangkat juga.
Jalanan tampak cukup lengang, padahal ini kan hari Minggu… aneh sekali.
Lalu kami berhenti di sebuah café.
“Di sini?” tanyaku bingung.
“Iya, client-ku meminta bertemu di sini. Ayo turun.” Jawabnya sembari melepas sealt-bet.

Alex menggandeng tanganku erat. Sesampainya di dalam Alex berhenti sebentar celingak-celinguk lalu kemudian kembali berjalan menuju sebuah meja, di sana duduk seorang wanita. Rambutnya hitam legam bergelombang. Siapa wanita itu? Duduknya membelakangi kami. Tapi sepertinya aku pernah melihatnya.
Alex menghampirinya dan…
“Clara,” Panggil Alex. Hatiku terasa sesak.
“Hei, silahkan duduk.” Ucap Clara, suaranya begitu bening. Alex pun mengajakku duduk. Aku duduk di samping Alex dan Clara duduk di hadapanku. Rasanya menegangkan sekali, aku terus menunduk. Mereka mengobrol sebentar. Inikah client Alex? Clara? Hah…
“Oh iya,Clara. Ini Luna, tunanganku.” Ucap Alex memperkenalkanku. Aku menatap Clara hati-hati dan tersenyum.
“Salam kenal.” Ucapku.
Clara hanya menatapku dengan mata teduhnya dan tersenyum. Pipinya menjadi merona saat tersenyum. Begitu cantik.
“Seperti yang Alex katakan, ternyata kamu memang benar-benar cantik. Beruntung Alex memilikimu..” ucapnya tak henti tersenyum.
Aku ikut tersenyum dan menatap Alex. Alex menatapku lalu menunduk malu. Lucu sekali.
Tapi… apa semua ini? Mengapa Clara mengatakan itu? Tatapannya yang teduh begitu bersahabat…
Tiba-tiba datang seorang pria bule duduk di samping Clara.
“Kenalkan, ini Sam, tunanganku.” Ucap Clara tersenyum begitu bahagia memperkenalkan tunganannya.
Tunangan? Jadi Clara sudah memiliki tunangan? Jadi antara Alex dan Clara… Hanya memang sebatas teman? Jadi, aku sudah berprasangka buruk pada Alex dan Clara? Aah..bodohnya aku. Begitu cepat cemburu…
***
Di dalam mobil, aku terdiam sembari menatap jalanan. Namun, sebenarnya pikiranku tidak pada jalan. Tapi pada prasangka-ku. Aku sudah menuduh Alex..ya walaupun aku tidak memarahinya. Tapi hatiku kemarin ragu.
Bodoh. Aku tidak mempercayainya.
“Kita mau kemana?” Tanya Alex penuh semangat.
“Entahlah,terserah kamu..” jawabku.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum.
“Iya, aku baik-baik saja..” jawabku.
“Hmm...bagaimana kalau kita pergi ke pantai?”
“Pantai?”
“Ya, mau?”
“Baiklah.” Jawabku tersenyum.
***
Sampai di pantai, Alex menghadapkan mobilnya ke arah laut biru. Burung-burung pelican terbang ke sana kemari. Cahaya matahari menyinari laut begitu cerah. Alex mematikan mesin mobilnya dan menatapku,
“Ayo, kita keluar.” Ajaknya sembari melepas sealt-bet dan membuka pintu mobil. Aku pun mengikutinya.
Alex berdiri bersandar di depan kap mobil. Aku pun berdiri di sampingnya.
“Boleh aku bersandar?” tanyaku. Alex tersenyum dan mengangguk. Dan ku sandarkan kepalaku di pundak kirinya. Alex menghembuskan napas.
“Tenang sekali ya di sini...apalagi bersamamu..” ucap Alex. Aku menatapnya dan tertawa.
“Kamu ini ckckck...” balasku.
“Kenapa aku?” tanyanya.
“Tidak, tidak kenapa-kenapa.” Jawabku. Masih saja hal sepele seperti ini ia bahas. Ck.
“Mau bermain air?” Tanya Alex. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya lalu tertawa kecil.
“Apa? Main air?” tanyaku tak percaya. Alex malah mengangguk seperti anak kecil yang bersemangat.
“Tidak. Kita diam saja di sini, menikmati angin dan mendengar deburan ombak.” Jawabku.
“Aah..itu tidak seru. Lebih seru kalau kita bermain air! Ayolah!” ajaknya mengotot.
“Tidak, Alex! Aku mau diam di sini saja.” Ucapku tegas.
“Yah...baiklah. Apapun untukmu aku lakukan.” Balasnya.
“Haha..kamu ini..” ucapku tertawa kecil.
“Oh iya Alex..” ucapku.
“Apa?” tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum hambar.
“Aku...aku sempat cemburu..” jawabku pelan. Alex menatapku, matanya terbelalak.
“Benarkah? Kok bisa?” tanyanya tak percaya. Aku balas menatapnya dengan tajam.
“Tentu saja bisa! Kau pikir aku akan diam saja melihatmu dekat dengan wanita lain apa?!” teriakku kesal.
Alex menatapku lalu tertawa dengan kencang sekali. Aku memukul lengannya keras.
“Kenapa malah menertawaiku?!” tanyaku kesal.
Ia masih tertawa lalu menatapku dan dia merangkulku pelan. Kepalaku bersandar di pundaknya, dan kepalanya bersandar di kepalaku.
“Aku bahagia.” Ucapnya.
“Bahagia kenapa?!” seruku hendak melepaskan pelukannya tapi ia menolak.
“Diamlah.” Ucapnya tegas.
“Mmm..bahagia kenapa?” tanyaku dengan suara lebih pelan. Ia menghela napas dan tertawa kecil.
“Kalau cemburu, artinya kau sayang padaku. Benar kan?” tanyanya dengan suara riang. Aku jadi ikut tertawa, dan wajahku terasa panas...
“Hmm..kepalamu panas..” ucapnya. Aku langsung melepaskan rangkulannya. Kepalaku jadi membentur kepalanya. Ah, sakit sekali. Ia juga mengaduh kesakitan sembari mengusap-usap kepalanya.
“Maaf! Maafkan aku..” ucapku.
“Ah..sakit.. aku hanya bercanda tentang kepalamu tadi.. ah.. kau ini...”
“Maafkan aku Alex...maaf..” ucapku lagi ikut mengusap-usap kepalanya pelan.
“Dimana yang sakit?” tanyaku.
“Di sini, di sini, sakit sekali..” jawabnya.Tiba-tiba dia menarikku dan memelukku erat.
“Hei kau! Apa yang-“ Aku berusaha memberontak tapi ia memotong kalimatku dan semakin memper-erat pelukannya.
“Diamlah. Lima menit saja, aku ingin memelukmu. Ya?Ya?” tanyanya.
“Hah? Mmm.. kau ini... ckck..” balasku tersenyum bahagia. Aku tak bisa menahan senyumku. Senyum ini hadir begitu saja seperti meledak.. Wajahku semakin terasa panas.
***

Setelah menyaksikan sunset di pantai tadi, kami pun memutuskan untuk pulang. Hari juga sudah mulai gelap. Di dalam mobil aku terdiam menatap jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu yang menjulang tinggi, begitu cantik.
Dari tape mobil terdengar music-musik jazz favorit kami berdua. Aku merasa begitu nyaman dan tenang.
“Kau tidur?” Tanya Alex. Aku menoleh,
“Tidak.” Jawabku sambil tersenyum. Alex menepuk-nepuk kepalaku pelan dan menatapku sambil tersenyum manis.
“Mau makan dulu?” tanyanya.
“Mmm..boleh, aku juga lapar..” jawabku.
“Mau makan di mana?” tanyanya. Aku diam sebentar lalu mengangkat bahu.
“Terserah.” Jawabku.
“Kita makan burger saja ya?Bagaimana?” tawarnya.
“Boleh juga!” seruku senang.
***




Sabtu, 25 Juni 2011

I SEE YOU – PART.2

Aku dan Horan sedang berjalan menuju rumah, kami baru saja pulang dari sekolah kami masing-masing.
Ya, akhir-akhir ini kami sering janjian untuk pulang bersama.
Aku bahagia J
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku menggenggam tangan Horan dengan kuat dan berlari menuju halte bus. Dan kami berteduh.

“Hujannya deras sekali,ckckc…” ucapku.
“Bagaimana ini? Aku harus segera pulang,” tanya Horan. Aku menoleh dan terdiam.
“Ini salahku tidak bawa payung. Ku kira cuaca hari ini akan cerah sampai sore.Maaf ya,” jawabku.
Horan mendekat padaku dan kepalanya bersandar di lenganku, dia mendongak dan tersenyum. Manis sekali.
“Tidak apa-apa.” Ucapnya.
“Ibumu pasti memarahiku,ckckc..” ucapku.
Horan tertawa dan memukul lenganku pelan.
“Tenang, aku yang akan menjelaskannya.” Balasnya.

Aku menatapnya dan tersenyum. Aku menatap tepat di kedua matanya. Matanya yang bulat dan begitu jernih. Aku baru sadar Horan memiliki mata yang indah, yang paling indah.

“Apa kita lari saja sampai ke rumah?” tanya Horan.
“Apa?Tidak-tidak, kita menunggu saja.Aku tak mau Ibumu melihatmu basah kuyup sampai rumah!” jawabku menolak tawaran Horan.

Dia bergumam dan menunduk.

“Tapi aku ingin pulang!” serunya.
“Tunggulah sebentar, pasti hujannya akan reda!” balasku.
Horan mengangkat kepalanya dari lenganku dan menatapku.
“Kenapa jadi teriak-teriak padaku?!” tanyanya kesal.
“Kau duluan yang berteriak padaku!” jawabku juga ikut kesal.
“Aku pulang sendiri saja!!!” teriak Horan lalu dengan cepat berjalan menjauhiku.
“Eh,jangan!!” teriakku mengejar dan menarik lengannya, tak kusangka tarikanku akan begitu kuat… hingga kami berpelukan.

Deg..deg..deg..deg.. Jantungku berdetak begitu keras.

Tak ada yang bicara ataupun bergerak. Hanya terdengar suara hujan..

“San..bisa lepaskan aku?” tanya Horan tiba-tiba mengeluarkan suara.
“Ah,iya!” jawabku lalu melepaskannya.
“San..tanganmu.” ucapnya. Aku diam, lalu kulihat tanganku masih memegang lengannya.
“Ah,maaf!” ucapku melepaskan tanganku.
***

“Aku pulang.” Ucapku begitu masuk ke dalam rumah.
“San, kau baru pulang?” tanya Ibu menghampiriku. Dari suaranya Ibu terdengar begitu cemas.
Aku mengangguk.
“Kau darimana saja?!” tanya Ibu sembari memukul keningku. SAKIT!!!
“Ibu! Apa-apaan sih! Malah memukulku! Sakit Bu!” seruku kesal.
“Dia pasti pacaran dulu tuh dengan tetangga sebelah!” seru kakak muncul dari kamarnya.
“Benar begitu,San?!” tanya Ibu.

Aku menatap kakak dan memelototinya kesal.

“Kau! Jawab saja pertanyaan Ibu!” seru Ibu memukul keningku lagi.
“Iya,iya, tak usah memukulku lagi! Tadi aku terjebak hujan deras, jadi aku meneduh dulu!” jawabku.
Ibu manggut-mangggut lalu menatapku,
“Ya sudah, cepat mandi lalu makan malam!”
“Baik,Bu.” Jawabku.

***
Aku dan Horan sedang berjalan sambil memakan es krim kami masing-masing. Tangan kananku memegang es krim, sedang tangan kiriku menggenggam tangannya.

“Awas, es krimnya masuk ke hidungmu.” Gurauku.
“Ha-ha, lucu sekali.” Balasnya datar.
“Hahaha..aku kan hanya main-main.” Ucapku.
“Aku sangat suka es krim. Mulutku takkan mungkin membiarkan es krim ini masuk ke hidung.” Ucapnya sembari tersenyum.

“Benarkah?” tanyaku menggodanya.
“Iya!” jawab Horan kesal.
“Bagaimana kalau begini,” ucapku mendorong es krim ke hidungnya.
“HAHAHAHA!” Tawaku puas melihat ada es krim yang menempel di hidungnya.
“SAN!!!” seru Horan sembari mengelap hidungnya.
Aku masih tertawa tanpa mempedulikannya.
***

Setelah makan es krim, aku dan Horan duduk di bangku taman favorit kami. Menikmati sore ini.

“San,” panggil Horan.
“Ya?” tanyaku. Horan menatapku.
“Kalau nanti aku bisa melihat, apa kau akan tetap di sampingku?” tanyanya.
Aku tersenyum,”Tentu saja.” Jawabku dengan sangat yakin.

Lalu dia terdiam.

“Ada apa Horan?” tanyaku hati-hati.
“Hm?Tidak,tidak ada apa-apa.” Jawabnya sembari tersenyum. Senyum yang terlihat hambar.
“Katakan saja.” Ucapku. Horan tetap diam.
“Horan, aku menunggu.” Ucapku tegas.

Horan meraih telapak tanganku lalu kedua telapak tangannya menggenggam telapak tanganku dengan 
kuat.

Dia menatapku. Matanya berkaca-kaca.

“Aku..aku akan segera melihatmu,San..” ucapnya.
“Maksudmu…?”
“Donor kornea mata untukku sudah ada.” Jawabnya.

Aku terkejut mendengarnya.

“Sungguh?” tanyaku antusias. Horan mengangguk pelan dan terdiam.
“Kau kenapa?” tanyaku hati-hati.
“Itu berarti aku akan jauh darimu,San.” Jawabnya menatapku, matanya masih berkaca-kaca.
“Sudahlah, yang terpenting kau bisa melihat..” ucapku menggenggam tangannya erat. Horan tersenyum dan menunduk,
“Tapi, Kanada itu jauh.” Ucapnya.
“Apa? Kanada?!” teriakku. Horan bergetar, dia tampaknya kaget melihatku teriak seperti itu.
“Eh maaf,” ucapku pelan.
Horan menggeleng,”Tidak apa-apa. Iya, operasinya akan dilaksanakan di sana.”
“Jauh sekali..” gumamku.
“Kau mau aku tidak pergi?” tanya Horan.
“Ah? Tidak-tidak, kau harus pergi. Mana mungkin aku menahanmu di sini.” Jawabku.
Horan tersenyum.
“Aku pasti merindukanmu,San.” Ucapnya pelan. Aku menoleh, dia tersenyum dan pipinya memerah. Aku jadi ikut tersenyum dan wajahku juga terasa panas.
“Aku pun pasti.” Balasku.

Kami pun saling terdiam. Setelah kalimat terakhirku tadi, aku tak tahu mau bilang apalagi. Sepertinya dia juga begitu…

Angin berhembus menerpa kami.

Hari semakin gelap. Langit mulai memerah, begitu cantik. Ah.. sebentar lagi kau akan melihat betapa indahnya langit di sore hari Horan..

“Kau akan menungguku kan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh, menatap wajahnya dalam-dalam. Entah kenapa, pertanyaannya tadi terasa begitu dalam sampai ke hatiku.

“Tentu saja.” Jawabku.
“Kau selalu menjawab tentu saja!” serunya. Aku tertawa.
“Memangnya kenapa?” tanyaku tak terima.

Horan hanya menggelengkan kepalanya.

“Oh iya, Ibuku bilang.. selain untuk operasi.. aku akan melanjutkan sekolah di sana..”
“Kau? Sekolah di sana? Menetap di sana?” tanyaku.

Jantungku berdetak lebih cepat.

“Sepertinya begitu.” Jawab Horan.
“Sampai kapan?” tanyaku.

Jantungku semakin berdetak lebih cepat.

“Entahlah,” jawabnya pelan.

Kami saling terdiam..

Aku menengadah ke langit dan menghela napas.

“Aku akan pergi minggu depan.” Ucap Horan.
“Yah..setidaknya kita masih punya waktu lima hari lagi.” Balasku.
“Kau benar-benar tidak mau menahanku di sini?” tanyanya.
“Sudah ku bilang tentu saja tidak! Ini untuk kebaikanmu, mana mungkin aku bisa menahanmu!’ seruku.
Horan tersenyum, manis…sekali.
“Sepertinya kita harus segera pulang, langit mulai semakin gelap.” Ajakku. Horan hanya mengangguk.
***

Horan’s P.O.V
Saat keluar dari gerbang, terdengar langkah kaki mendekatiku. Itu pasti San. Aku tersenyum.

“Pasti kau sudah tahu ini aku,” ucapnya.
“Haha.. iya.” Jawabku tak dapat menahan tawa.

Lalu San mengamit tanganku dan mengajakku pergi.
Di sepanjang perjalanan terasa begitu sunyi.. hanya terdengar suara tongkatku. San diam sekali hari ini..

“San?” panggilku.
“Ya?” sahutnya.
“Kau diam sekali.. Kenapa?” tanyaku.
“Ah tidak-“
“Jangan bohong!” seruku memotong kalimatnya.
“Hmm terserah kau saja..” balasnya.

Tumben sekali San bilang terserah, biasanya dia tidak mau kalah..

Pasti ada sesuatu.

“Kita ke taman dulu ya?” tawar San. Aku tersenyum dan mengangguk senang.
***

Hmm.. aku senang sekali berada di atmosfer seperti ini. Udara di taman begitu sejuk. Pasti di sini banyak tumbuhan hijau, jadi banyak oksigen..

Aku tak sabar untuk melihat taman ini.. pasti indah.. apalagi dengan San di sampingku..

Ah iya, bicara tentang San.. semenjak duduk di bangku taman, dia hanya diam, entah apa yang sedang dia pikirkan.. yang pasti aku yakin itu mengganggunya.

Ternyata rasanya gak enak juga ya. Tidak dipedulikan.

Sunyi.

“Saaaan.. kau ini kenapa sih?! Kenapa diam terus? Kau membuatku bingung!” tanyaku kesal, lebih tepatnya putus asa.

Aku tak mendengar jawaban apa-apa. Namun, tiba-tiba San menarik lenganku dan dia… dia memelukku…

“Kau ini… daritadi bertanya terus aku kenapa. Diamlah sebentar.” Ucapnya.
“San aku-“
"Ku mohon diam ya, 2 menit saja.” Ucapnya memotong kalimatku.
“San..”
“Biarkan aku memelukmu. Diamlah.” Ucapnya lagi.

Ada sesuatu yang berdetak dengan cepat di sini.. di jantungku. Seperti ada yang memompa jantungku begitu cepat.

Napasku terasa sesak dan.. aku merasa wajahku memanas.

Aku merindukannya. Ya ini aneh, aku merindukannya meskipun kini dia berada di hadapanku.

Kemudian San melepaskan pelukannya. Dia menghela napas.

“2 menitnya sudah habis.” Ucapnya. Aku tersenyum.
***

Selasa, 28 Juni 2011

He is Mine - Chapter.1

Aku tersenyum melihatnya memeras handuk kecil dari mangkuk berisi air dingin.
“Alex,” panggilku pelan. Ia menatapku.
“Apa?” tanyanya sinis. Aku tertawa.
“Apa sih?Malah ketawa.” Ucapnya lagi.
“Kamu kesal?” tanyaku hati-hati.
“Kamu pikir?” tanyanya balik.
Aku hanya tersenyum, nampaknya ia benar-benar cemas.
“Aku baik-baik saja,” jawabku.
“Oh ya? Sampai pingsan? Apa itu baik-baik saja? Apakah ini kebiasaanmu?!” tanya Alex dengan nada meninggi.
“Kebiasaan apa?” tanyaku bingung. Alex menggelengkan kepalanya.
“Menyembunyikan rasa sakitmu.” Jawabnya datar.
“Aku baik-baik saja, sungguh. Aku hanya lelah, tidak terlalu parah.” Balasku. Alex hanya diam. Lalu ia menempelkan handuk kecil itu di keningku pelan-pelan.
“Tidurlah, kamu butuh istirahat.” Ucapnya datar tanpa menatapku lalu berdiri. Aku segera menarik tangannya.
“Alex?”
Ia menatapku, “Aku ada di sofa luar jika kamu membutuhkanku.” Ucapnya.
“Kamu marah?” tanyaku.
“Karena aku peduli padamu.” Jawabnya.
“Maaf,” ucapku.
“Sudahlah, cepatlah tidur!” serunya menunduk mendekati wajahku lalu mencium pipiku lembut.
***
Aku dimana ini? Langit begitu gelap. Yang kulihat di depan hanya hamparan tanah kering. Nampaknya begitu panas namun aku malah merasakan dingin.
“Kamu.” Suara itu mengejutkanku, aku membalikkan badan dan ku lihat seorang wanita menatapku tajam. Rambutnya di ikat satu ke belakang, matanya bulat dan tajam, tatapannya menusuk. Aku tidak mengenalinya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya.
Aku hendak menjawab tapi aku tak dapat mendengar suaraku. Apa ini? Kenapa suaraku tidak keluar? Sekuat tenaga aku mencoba kembali bicara tapi tetap sunyi, tak ada suara yang keluar.
“Tak mau bicara? Bisu?!” tanyanya semakin keras. Ia mendekatiku, dan aku pun mundur selangkah demi selangkah saat dia semakin mendekatiku.
“Kamu mau mati?” tanyanya tersenyum sinis sembari menengok ke belakangku. Aku menoleh ke belakang dan aku sudah berada di bibir jurang. Aku kembali melihat ke depan.
“Matilah!” serunya sembari mendorongku keras.
“AAAAAA!!!!!” Teriakku.
Ku tatap langit-langit kamarku. Hah, hanya mimpi. Ku rasakan peluh membajiri seluruh tubuhku. Ku ambil handuk kecil dari keningku dan menjatuhkannya ke mangkuk di sebelahku.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka, muncul Alex setengah berlari ke arahku. Ia duduk di sampingku lalu mengusap wajahku. Ia tampak cemas.
“Mimpi buruk?” tanyanya. Aku hanya mengangguk.
“Tenanglah,” ucapnya pelan. Aku mengangguk lagi.
“Mau ku temani?” tanyanya.
“Hah?Bagaimana caranya?” tanyaku.
“Aku akan pakai kasur lipat di lantai.” Jawabnya. Aku terdiam sebentar lalu mengangguk. Entah kenapa aku merasa sedikit takut. Mimpi tadi itu…. Ah. Wanita itu juga sangat mengerikan, ia sepertinya senang sekali mendorongku ke jurang.
“Tunggu sebentar.” Ucapnya lalu beranjak meninggalkan kamarku.
Tak lama kemudian Alex membawa kasur lipat, guling, bantal, dan juga selimut. Ia menghamparkan kasur lipat di sebelah tempat tidurku. Kemudian ia menata bantal, guling, dan selimutnya. Lalu ia kembali duduk di sebelahku.
“Kamu berkeringat.” Ucapnya sembari mengambil handuk kecil di dalam mangkuk, diperasnya sebentar lalu mengusap wajah dan leherku pelan.
“Apa yang kamu rasakan?” tanyanya.
“Jantungku berdetak kencang.” Jawabku pelan.
“Tarik napas dan hembuskan. Itu bisa membuatmu tenang.” Ucapnya.
“Kehadiranmu di sini sudah cukup membuatmu tenang.” Balasku tersenyum.
“Kamu ini ckckck. Sudah, kembalilah tidur. Aku juga akan tidur.” Ucapnya menyimpan handuk kecil itu di dalam mangkuk lalu berdiri dan berbaring di kasur lipat.
“Alex,” panggilku.
“Apa?” tanyanya.
“Hanya memastikan.” Jawabku.
“Haha, tidurlah!” serunya. Aku tersenyum tenang dan kembali memejamkan mata, kali ini aku tak lupa berdoa.
***
Suara TV di luar terdengar. Perlahan aku membuka mata. Dari jendela kamar yang terbuka aku tahu, pagi sudah datang ternyata. Aku menghembuskan napas pelan. Perlahan aku bangun dan turun dari kasur. Tapi, saat aku mencoba berdiri, kakiku terasa linu sekali. Aku kembali terduduk. Aku mencoba lagi berdiri dan aku terjatuh lagi ke atas kasur. Ada apa dengan kakiku? Tak biasanya seperti ini. Lututku terasa linu sekali. Untuk yang ketiga kalinya aku mencoba berdiri lagi. Kali ini aku paksakan dan aku terjatuh ke bawah lantai.
“ALEX!!” Pekikku. Kepalaku cukup membentur lantai dengan keras. Lututku semakin terasa linu, begitu juga dengan mata kakiku.
“Oh Tuhan!” seru Alex sembari mendekatiku. Ia mengangkat punggungku pelan.
“Kenapa bisa begini?!” tanyanya.
“Aku tak bisa berdiri,” ucapku parau. Alex langsung mengangkat tubuhku dengan satu gerakan ke atas kasur. Ia membaringkanku pelan.
“Apa yang kamu rasakan?!” tanyanya cemas.
“Kakiku terasa linu..” jawabku.
“Dimananya?!” tanya Alex.
“Lutut dan mata kaki…” jawabku. Alex memijit kakiku. Rasanya seperti di remas. Sakit sekali.
“Kamu membuatnya tambah parah!!” pekikku. Alex langsung menjauhkan tangannya.
“Maaf-maaf. Mau ku bawa ke dokter?” tanyanya.
“Gak, gak usah..” jawabku.
“Kita bisa memeriksa kakimu!” seru Alex.
“Gak, aku akan baik-baik saja. Nanti juga akan sembuh.” Balasku.
“Hah, kamu ini.” Ucapnya menatapku kesal. Mungkin aku memang keras kepala.
***
Ada apa dengan kakiku pagi ini? Sungguh menyebalkan dan menyakitkan! Baru kali ini kakiku seperti ini. Aneh dan membingungkan..
Kali ini aku kembali berdiri dan berhasil. Saat membuka pintu kamar, ku lihat Alex sedang duduk di sofa dengan memegang handphone di telinga. Aku mendengar sedikit.
“…maafkan aku, sepertinya kali ini aku tidak bisa datang. Tunanganku sedang sakit. Mungkin lain kali aku bisa datang. Sekali lagi maafkan aku,…”
Tunangan? Aku ya? Ah…kenapa aku menjadi alasannya…
Setelah ia menutup telfonnya, aku mendekatinya. Ia nampak kaget melihatku, aku duduk di sampingnya.
“Siapa tadi?” tanyaku.
“Ah itu, teman lamaku baru pulang dari Sydney, ia mengajakku makan bersama dengan teman-teman yang lain.” Jawabnya.
“Kamu tidak ikut?” tanyaku.
“Aku kan menjagamu di sini..” jawabnya.
“Aku sudah sehat kok. Kamu pergi saja, berkumpulah dengan teman-temanmu, masa kamu tidak menyambutnya… pergilah…aku tidak mau menjadi penghalangmu..” ucapku. Ia tersenyum lalu menggelengkan kepala.
“Kamu mengusirku?” tanyanya.
“Apa? Aku kan hanya mau berbuat baik pada tunanganku..” ucapku pelan. Ia tertawa kecil.
“Baiklah aku akan pergi… Tapi,”
“Tapi apa?” tanyaku kesal.
“Aku akan pergi bersamamu. Bagaimana?” tanyanya.
“Aku? Ini kan acara dengan teman-temanmu. Untuk apa aku ikut?” tanyaku.
“Ayolah…temanku juga pasti bawa pasangan mereka masing-masing.” Ucapnya. Aku menatapnya dan berpikir.
“Kamu kan pasanganku… bagaimana?” tanyanya menatapku jahil.
Aku mendorong wajahnya jauh dan tertawa, ia juga tertawa.
“Baiklah, aku ikut denganmu.” Ucapku.
“Nah, itu baru pasanganku.Besok kita pergi jam 3 sore.” Ucapnya.
“Hahahaha… hentikan Alex!”
“Kenapa? Kamu kan memang pasanganku.”
“Aaaaa sudah! Aku geli mendengarnya!”
“Pasanganku?”
“Hahahaha… hentikan itu!!!!!!” seruku dengan tawa lepas.
***
Setelah sampai di tempat parkir, kami pun turun dari mobil. Alex menggandeng tangaku kuat. Ia nampak tampan sekali dengan jins hitam, kaus abu-abu tua dan kemeja kotak-kotak warna abu-abu. Sedang aku... dress biru tua, jins hitam dan cardigan yang senada dengan dress-ku. Aku merasa payah berjalan di sampingnya.
Sebelum memasuki cafe, Alex tersenyum padaku. Ia tak melepaskan tanganku sedikit pun.
Sampai di sebuah meja makan yang cukup besar. Ku lihat teman-teman Alex sudah berkumpul. Mereka sedang mengobrol dan tertawa bersama.
“Alex! Sahabatku! Hahaha.” Seru salah seorang pria mendekati Alex dan memeluknya.
“Oh iya, ini tunanganku, Luna.” Ucap Alex memperkenalku kepada teman-temannya. Aku hanya bisa tersenyum dan menunduk beberapa kali.
“Alex?” suara itu mengejutkanku dan Alex. Aku berbalik dan ku lihat seorang wanita cantik tinggi semampai dengan dress se-lutut. Wanita itu mendekati kami namun sebenarnya mendekati Alex.
“Clara?” tanya Alex tersenyum.
“Sudah lama tidak bertemu ya, kamu masih tampan seperti dulu.” Ucap wanita itu.
Telingaku panas mendengar wanita itu menyebut Alex tampan. Dan mereka pun mengobrol membelakangiku. Alex seperti lupa akan diriku. Semua teman-temannya pun saling mengobrol tanpa menghiraukanku.
“Aku ke toilet ya,” ucapku pada Alex, dan sepertinya ia tak mendengarku. Aku langsung saja mencari toilet di cafĂ© itu, kali ini hatiku juga panas..
Sampai di toilet aku mencuci muka dan menghembuskan napas panjang. Wajah wanita yang bernama Clara tadi terbayang di kepalaku. Ia begitu cantik, pantas saja Alex sampai tidak mempedulikanku begini. Hah, untuk apa juga aku mau ikut ya? Kalau akhirnya aku hanya diam di toilet.. hah...
Aku pun keluar dari toilet, ku lirik,kali ini mereka tertawa bersama.. ya Alex dan wanita bernama Clara itu. Mereka juga menyatu dengan teman-teman mereka yang lain.
Sepertinya aku pergi saja dari sini. Ya, lebih baik aku pergi saja. Aku pun mulai berjalan menuju pintu keluar.
“Luna!” teriak Alex, aku terdiam dan menoleh, ia berjalan setengah berlari mendekatiku. Wajahnya nampak berseri.
“Aku pulang duluan ya,” ucapku cengar-cengir. Alex mengerutkan kening.
“Kita kan baru sebentar,” ucap Alex.
“Mmm…aku lelah, lebih baik aku pulang saja..” balasku. Alex mengusap rambutku, aku menghindar sedikit, entah mengapa aku malah menghindar..
“Baiklah, aku bilang dulu dengan yang lain ya, kita berangkat bersama, kita juga pulang bersama.” Ucapnya.
“Ah, biar aku pulang sendiri saja. Kembalilah bersama dengan teman-temanmu.. kan tidak enak masa sudah pulang lagi..” ucapku.
“Tapi kamu-“
“Aku bisa pulang sendiri.” Ucapku se yakin mungkin. Alex terdiam menatapku dan menghela napas.
“Baiklah, hati-hati ya, naik taksi saja, langsung pulang ke apartemenmu.” Balasnya. Aku hanya tersenyum lalu kembali berjalan.
“Luna,” seru Alex pelan. Aku berbalik dan tiba-tiba saja ia mencium keningku. Lalu kemudian menatapku sembari tersenyum.
“Apa yang kamu lakukan?!” tanyaku setengah berbisik. Alex tertawa.
“Mencium keningmu. Memangnya kenapa?” tanyanya balik.
“Ini kan tempat umum!” jawabku.
“Aku tidak peduli. Yang penting orang lain tahu kamu milikku,” ucapnya tersenyum.
“Ah, ya sudah, aku pulang dulu!” balasku dan kali ini benar-benar berjalan pulang. Aku menoleh ke belakang dan ku lihat Alex melambaikan tangannya. Aku hanya tersenyum.
Taxi pun berhenti tepat di depanku, aku langsung menaikinya.
Saat aku sudah berada di dalam taxi, sekilas aku melihat Clara menghampiri Alex.. ah..hatiku terasa sesak..
***
Sampai di rumah aku langsung tidur. Bangun-bangun jam 8 malam karena telfon dari Alex.
“Halo?” sapaku malas. Aku masih ngantuk.
“Tidur ya?” tanyanya.
“Iya…hoaaam…” jawabku sembari menguap.
“Mmm…sepertinya malam ini aku pulang ke apartemenku. Tidak apa kan? Kamu masih sakit?” tanyanya.
Aku merasa sedikit kecewa.
“Kenapa? Tapi, tidak apa-apa kok, aku sudah sembuh lagipula..” jawabku.
“Aku masih bersama teman-teman, kami akan ke tempat karaoke.. benar tidak apa-apa?” tanyanya lagi.
Karaoke? Ah- entah mengapa kedengarannya tidak enak.
“Iya, aku baik-baik saja.” Jawabku datar.
“Hmm..baiklah, aku tutup ya?”
“Iya, dah..” jawabku.
“Dah..” Dan klik. Aku pun kembali tidur, entah kenapa wajah wanita bernama Clara itu kembali memenuhi pikiranku. Apa akan terjadi sesuatu di antara mereka? Aaaaa! Aku percaya Alex kok. Tapi, aku hanya seorang wanita.. aku pantas untuk cemburu kan? Dan aku pantas mencemaskan Alex kan? Hah…
***
Pagi yang cerah, tapi daritadi bangun hingga sekarang aku belum juga tersenyum. Entah apa yang terjadi, awan gelap sepertinya menutupi hatiku.
Aku duduk diam menonton TV ditemani se cangkir teh hangat. Aku tak tahu acara apa yang ku tonton. Karena pikiranku sama sekali bukan ke TV. Tapi Alex, ya Alex. Aku masih mencemaskannya. Dan Clara. Apa Clara itu mantan Alex? Tapi Alex tak pernah menceritakannya…
Tiba-tiba bel apartemenku berbunyi, dengan langkah malas aku menghampiri pintu apartemenku dan mengintip dari lubang kecil di pintu, Alex. Aku membuka pintu perlahan.
Ia tersenyum, ia tampak begitu bahagia dan segar sembari membawa satu pot kaktus kecil.
“Aku tak disuruh masuk?” tanyanya menahan tawa. Aku hanya berlalu menjauhinya dan kembali duduk di sofa depan TV. Alex menghampiriku dan ikut duduk. Ia menaruh pot kaktus yang ia bawa di meja kecil samping sofa.
“Kamu kenapa?” tanya Alex.
“Tidak…hanya merasa sedikit pusing.” Jawabku.
“Sakit lagi? Kita ke dokter ya?” tanya Alex begitu cemas. Aku menggeleng.
“Tidak usah,nanti juga sembuh, ini hanya pusing biasa.” Jawabku.
“Kalau begitu aku pijit saja ya kepalamu?” tawar Alex.
“Tidak usah.” Jawabku datar.                                   
Kami pun terdiam. Aku membisu menatap layar TV. Alex juga begitu. Tapi aku tahu, pikiran kami melayang kemana-mana. Tak fokus pada TV.
Aku masih memikirkan wanita bernama Clara itu.
Alex tampak begitu senang saat bertemu dengannya. Clara begitu cantik. Ia bagai model, atau memang benar-benar model? Rambutnya hitam legam bergelombang, pipinya merah merona saat tersenyum, dan sepertinya ia mempunyai selera fashion yang bagus.
Bahkan Alex sampai bisa lupa padaku saat ia begitu asyik mengobrol dengan Clara.
Hah…aku mengelus dada beberapa kali. Tabahkan hatimu Luna. Ucapku berkali-kali di dalam hati.
Aku beranjak dari sofa.
“Mau kemana?” tanya Alex.
“Aku mau ke dapur.” Jawabku datar tanpa menoleh padanya sedikit pun.
Aku seperti setengah berlari menuju dapur. Hah, ada apa denganku? Sampai di dapur aku diam, aku bingung mau melakukan apa di sini. Bodohnya aku.
“Luna,”
“Aaaah!!” teriakku. Aku kaget setengah mati!
“Kamu kaget?” tanya Alex menahan tawa.
“Kamu ini… sudah jelas-jelas aku teriak, masih juga bertanya!” jawabku kesal. Alex malah tertawa. Ya, ia selalu tertawa jika aku melakukan hal bodoh. Tunangan macam apa itu!
“Maafkan aku ya…” ucapnya mengelus rambutku pelan sembari tersenyum.
Senyumnya, aku selalu menyadari bahwa senyumnya adalah hal yang terindah di dunia ini. Aku tak mau kehilangan senyum itu. Senyum yang membuatku merasa tenang dan nyaman di sampingnya. Senyum itu hanya untukku..
“Oh iya, kamu mau ikut denganku?” tanyanya.
“Ikut kemana?” tanyaku balik.
“Hari ini aku akan bertemu dengan seorang client, hanya sebentar kok. Setelah itu kita akan jalan-jalan. Bagaimana?” jawabnya.
“Di hari Minggu ini pun masih bertemu client?” tanyaku. Ia hanya mengangguk. Aku berpikir sebentar. Jalan-jalan? Hmmm…
“Baiklah, aku ikut.” Jawabku tersenyum. Akhirnya, pagi ini aku tersenyum juga.
***
Tepat pukul 08.00 pagi kami pun berangkat juga.
Jalanan tampak cukup lengang, padahal ini kan hari Minggu… aneh sekali.
Lalu kami berhenti di sebuah café.
“Di sini?” tanyaku bingung.
“Iya, client-ku meminta bertemu di sini. Ayo turun.” Jawabnya sembari melepas sealt-bet.

Alex menggandeng tanganku erat. Sesampainya di dalam Alex berhenti sebentar celingak-celinguk lalu kemudian kembali berjalan menuju sebuah meja, di sana duduk seorang wanita. Rambutnya hitam legam bergelombang. Siapa wanita itu? Duduknya membelakangi kami. Tapi sepertinya aku pernah melihatnya.
Alex menghampirinya dan…
“Clara,” Panggil Alex. Hatiku terasa sesak.
“Hei, silahkan duduk.” Ucap Clara, suaranya begitu bening. Alex pun mengajakku duduk. Aku duduk di samping Alex dan Clara duduk di hadapanku. Rasanya menegangkan sekali, aku terus menunduk. Mereka mengobrol sebentar. Inikah client Alex? Clara? Hah…
“Oh iya,Clara. Ini Luna, tunanganku.” Ucap Alex memperkenalkanku. Aku menatap Clara hati-hati dan tersenyum.
“Salam kenal.” Ucapku.
Clara hanya menatapku dengan mata teduhnya dan tersenyum. Pipinya menjadi merona saat tersenyum. Begitu cantik.
“Seperti yang Alex katakan, ternyata kamu memang benar-benar cantik. Beruntung Alex memilikimu..” ucapnya tak henti tersenyum.
Aku ikut tersenyum dan menatap Alex. Alex menatapku lalu menunduk malu. Lucu sekali.
Tapi… apa semua ini? Mengapa Clara mengatakan itu? Tatapannya yang teduh begitu bersahabat…
Tiba-tiba datang seorang pria bule duduk di samping Clara.
“Kenalkan, ini Sam, tunanganku.” Ucap Clara tersenyum begitu bahagia memperkenalkan tunganannya.
Tunangan? Jadi Clara sudah memiliki tunangan? Jadi antara Alex dan Clara… Hanya memang sebatas teman? Jadi, aku sudah berprasangka buruk pada Alex dan Clara? Aah..bodohnya aku. Begitu cepat cemburu…
***
Di dalam mobil, aku terdiam sembari menatap jalanan. Namun, sebenarnya pikiranku tidak pada jalan. Tapi pada prasangka-ku. Aku sudah menuduh Alex..ya walaupun aku tidak memarahinya. Tapi hatiku kemarin ragu.
Bodoh. Aku tidak mempercayainya.
“Kita mau kemana?” Tanya Alex penuh semangat.
“Entahlah,terserah kamu..” jawabku.
“Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum.
“Iya, aku baik-baik saja..” jawabku.
“Hmm...bagaimana kalau kita pergi ke pantai?”
“Pantai?”
“Ya, mau?”
“Baiklah.” Jawabku tersenyum.
***
Sampai di pantai, Alex menghadapkan mobilnya ke arah laut biru. Burung-burung pelican terbang ke sana kemari. Cahaya matahari menyinari laut begitu cerah. Alex mematikan mesin mobilnya dan menatapku,
“Ayo, kita keluar.” Ajaknya sembari melepas sealt-bet dan membuka pintu mobil. Aku pun mengikutinya.
Alex berdiri bersandar di depan kap mobil. Aku pun berdiri di sampingnya.
“Boleh aku bersandar?” tanyaku. Alex tersenyum dan mengangguk. Dan ku sandarkan kepalaku di pundak kirinya. Alex menghembuskan napas.
“Tenang sekali ya di sini...apalagi bersamamu..” ucap Alex. Aku menatapnya dan tertawa.
“Kamu ini ckckck...” balasku.
“Kenapa aku?” tanyanya.
“Tidak, tidak kenapa-kenapa.” Jawabku. Masih saja hal sepele seperti ini ia bahas. Ck.
“Mau bermain air?” Tanya Alex. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya lalu tertawa kecil.
“Apa? Main air?” tanyaku tak percaya. Alex malah mengangguk seperti anak kecil yang bersemangat.
“Tidak. Kita diam saja di sini, menikmati angin dan mendengar deburan ombak.” Jawabku.
“Aah..itu tidak seru. Lebih seru kalau kita bermain air! Ayolah!” ajaknya mengotot.
“Tidak, Alex! Aku mau diam di sini saja.” Ucapku tegas.
“Yah...baiklah. Apapun untukmu aku lakukan.” Balasnya.
“Haha..kamu ini..” ucapku tertawa kecil.
“Oh iya Alex..” ucapku.
“Apa?” tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum hambar.
“Aku...aku sempat cemburu..” jawabku pelan. Alex menatapku, matanya terbelalak.
“Benarkah? Kok bisa?” tanyanya tak percaya. Aku balas menatapnya dengan tajam.
“Tentu saja bisa! Kau pikir aku akan diam saja melihatmu dekat dengan wanita lain apa?!” teriakku kesal.
Alex menatapku lalu tertawa dengan kencang sekali. Aku memukul lengannya keras.
“Kenapa malah menertawaiku?!” tanyaku kesal.
Ia masih tertawa lalu menatapku dan dia merangkulku pelan. Kepalaku bersandar di pundaknya, dan kepalanya bersandar di kepalaku.
“Aku bahagia.” Ucapnya.
“Bahagia kenapa?!” seruku hendak melepaskan pelukannya tapi ia menolak.
“Diamlah.” Ucapnya tegas.
“Mmm..bahagia kenapa?” tanyaku dengan suara lebih pelan. Ia menghela napas dan tertawa kecil.
“Kalau cemburu, artinya kau sayang padaku. Benar kan?” tanyanya dengan suara riang. Aku jadi ikut tertawa, dan wajahku terasa panas...
“Hmm..kepalamu panas..” ucapnya. Aku langsung melepaskan rangkulannya. Kepalaku jadi membentur kepalanya. Ah, sakit sekali. Ia juga mengaduh kesakitan sembari mengusap-usap kepalanya.
“Maaf! Maafkan aku..” ucapku.
“Ah..sakit.. aku hanya bercanda tentang kepalamu tadi.. ah.. kau ini...”
“Maafkan aku Alex...maaf..” ucapku lagi ikut mengusap-usap kepalanya pelan.
“Dimana yang sakit?” tanyaku.
“Di sini, di sini, sakit sekali..” jawabnya.Tiba-tiba dia menarikku dan memelukku erat.
“Hei kau! Apa yang-“ Aku berusaha memberontak tapi ia memotong kalimatku dan semakin memper-erat pelukannya.
“Diamlah. Lima menit saja, aku ingin memelukmu. Ya?Ya?” tanyanya.
“Hah? Mmm.. kau ini... ckck..” balasku tersenyum bahagia. Aku tak bisa menahan senyumku. Senyum ini hadir begitu saja seperti meledak.. Wajahku semakin terasa panas.
***

Setelah menyaksikan sunset di pantai tadi, kami pun memutuskan untuk pulang. Hari juga sudah mulai gelap. Di dalam mobil aku terdiam menatap jalanan yang diterangi oleh lampu-lampu yang menjulang tinggi, begitu cantik.
Dari tape mobil terdengar music-musik jazz favorit kami berdua. Aku merasa begitu nyaman dan tenang.
“Kau tidur?” Tanya Alex. Aku menoleh,
“Tidak.” Jawabku sambil tersenyum. Alex menepuk-nepuk kepalaku pelan dan menatapku sambil tersenyum manis.
“Mau makan dulu?” tanyanya.
“Mmm..boleh, aku juga lapar..” jawabku.
“Mau makan di mana?” tanyanya. Aku diam sebentar lalu mengangkat bahu.
“Terserah.” Jawabku.
“Kita makan burger saja ya?Bagaimana?” tawarnya.
“Boleh juga!” seruku senang.
***




Sabtu, 25 Juni 2011

I SEE YOU – PART.2

Aku dan Horan sedang berjalan menuju rumah, kami baru saja pulang dari sekolah kami masing-masing.
Ya, akhir-akhir ini kami sering janjian untuk pulang bersama.
Aku bahagia J
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku menggenggam tangan Horan dengan kuat dan berlari menuju halte bus. Dan kami berteduh.

“Hujannya deras sekali,ckckc…” ucapku.
“Bagaimana ini? Aku harus segera pulang,” tanya Horan. Aku menoleh dan terdiam.
“Ini salahku tidak bawa payung. Ku kira cuaca hari ini akan cerah sampai sore.Maaf ya,” jawabku.
Horan mendekat padaku dan kepalanya bersandar di lenganku, dia mendongak dan tersenyum. Manis sekali.
“Tidak apa-apa.” Ucapnya.
“Ibumu pasti memarahiku,ckckc..” ucapku.
Horan tertawa dan memukul lenganku pelan.
“Tenang, aku yang akan menjelaskannya.” Balasnya.

Aku menatapnya dan tersenyum. Aku menatap tepat di kedua matanya. Matanya yang bulat dan begitu jernih. Aku baru sadar Horan memiliki mata yang indah, yang paling indah.

“Apa kita lari saja sampai ke rumah?” tanya Horan.
“Apa?Tidak-tidak, kita menunggu saja.Aku tak mau Ibumu melihatmu basah kuyup sampai rumah!” jawabku menolak tawaran Horan.

Dia bergumam dan menunduk.

“Tapi aku ingin pulang!” serunya.
“Tunggulah sebentar, pasti hujannya akan reda!” balasku.
Horan mengangkat kepalanya dari lenganku dan menatapku.
“Kenapa jadi teriak-teriak padaku?!” tanyanya kesal.
“Kau duluan yang berteriak padaku!” jawabku juga ikut kesal.
“Aku pulang sendiri saja!!!” teriak Horan lalu dengan cepat berjalan menjauhiku.
“Eh,jangan!!” teriakku mengejar dan menarik lengannya, tak kusangka tarikanku akan begitu kuat… hingga kami berpelukan.

Deg..deg..deg..deg.. Jantungku berdetak begitu keras.

Tak ada yang bicara ataupun bergerak. Hanya terdengar suara hujan..

“San..bisa lepaskan aku?” tanya Horan tiba-tiba mengeluarkan suara.
“Ah,iya!” jawabku lalu melepaskannya.
“San..tanganmu.” ucapnya. Aku diam, lalu kulihat tanganku masih memegang lengannya.
“Ah,maaf!” ucapku melepaskan tanganku.
***

“Aku pulang.” Ucapku begitu masuk ke dalam rumah.
“San, kau baru pulang?” tanya Ibu menghampiriku. Dari suaranya Ibu terdengar begitu cemas.
Aku mengangguk.
“Kau darimana saja?!” tanya Ibu sembari memukul keningku. SAKIT!!!
“Ibu! Apa-apaan sih! Malah memukulku! Sakit Bu!” seruku kesal.
“Dia pasti pacaran dulu tuh dengan tetangga sebelah!” seru kakak muncul dari kamarnya.
“Benar begitu,San?!” tanya Ibu.

Aku menatap kakak dan memelototinya kesal.

“Kau! Jawab saja pertanyaan Ibu!” seru Ibu memukul keningku lagi.
“Iya,iya, tak usah memukulku lagi! Tadi aku terjebak hujan deras, jadi aku meneduh dulu!” jawabku.
Ibu manggut-mangggut lalu menatapku,
“Ya sudah, cepat mandi lalu makan malam!”
“Baik,Bu.” Jawabku.

***
Aku dan Horan sedang berjalan sambil memakan es krim kami masing-masing. Tangan kananku memegang es krim, sedang tangan kiriku menggenggam tangannya.

“Awas, es krimnya masuk ke hidungmu.” Gurauku.
“Ha-ha, lucu sekali.” Balasnya datar.
“Hahaha..aku kan hanya main-main.” Ucapku.
“Aku sangat suka es krim. Mulutku takkan mungkin membiarkan es krim ini masuk ke hidung.” Ucapnya sembari tersenyum.

“Benarkah?” tanyaku menggodanya.
“Iya!” jawab Horan kesal.
“Bagaimana kalau begini,” ucapku mendorong es krim ke hidungnya.
“HAHAHAHA!” Tawaku puas melihat ada es krim yang menempel di hidungnya.
“SAN!!!” seru Horan sembari mengelap hidungnya.
Aku masih tertawa tanpa mempedulikannya.
***

Setelah makan es krim, aku dan Horan duduk di bangku taman favorit kami. Menikmati sore ini.

“San,” panggil Horan.
“Ya?” tanyaku. Horan menatapku.
“Kalau nanti aku bisa melihat, apa kau akan tetap di sampingku?” tanyanya.
Aku tersenyum,”Tentu saja.” Jawabku dengan sangat yakin.

Lalu dia terdiam.

“Ada apa Horan?” tanyaku hati-hati.
“Hm?Tidak,tidak ada apa-apa.” Jawabnya sembari tersenyum. Senyum yang terlihat hambar.
“Katakan saja.” Ucapku. Horan tetap diam.
“Horan, aku menunggu.” Ucapku tegas.

Horan meraih telapak tanganku lalu kedua telapak tangannya menggenggam telapak tanganku dengan 
kuat.

Dia menatapku. Matanya berkaca-kaca.

“Aku..aku akan segera melihatmu,San..” ucapnya.
“Maksudmu…?”
“Donor kornea mata untukku sudah ada.” Jawabnya.

Aku terkejut mendengarnya.

“Sungguh?” tanyaku antusias. Horan mengangguk pelan dan terdiam.
“Kau kenapa?” tanyaku hati-hati.
“Itu berarti aku akan jauh darimu,San.” Jawabnya menatapku, matanya masih berkaca-kaca.
“Sudahlah, yang terpenting kau bisa melihat..” ucapku menggenggam tangannya erat. Horan tersenyum dan menunduk,
“Tapi, Kanada itu jauh.” Ucapnya.
“Apa? Kanada?!” teriakku. Horan bergetar, dia tampaknya kaget melihatku teriak seperti itu.
“Eh maaf,” ucapku pelan.
Horan menggeleng,”Tidak apa-apa. Iya, operasinya akan dilaksanakan di sana.”
“Jauh sekali..” gumamku.
“Kau mau aku tidak pergi?” tanya Horan.
“Ah? Tidak-tidak, kau harus pergi. Mana mungkin aku menahanmu di sini.” Jawabku.
Horan tersenyum.
“Aku pasti merindukanmu,San.” Ucapnya pelan. Aku menoleh, dia tersenyum dan pipinya memerah. Aku jadi ikut tersenyum dan wajahku juga terasa panas.
“Aku pun pasti.” Balasku.

Kami pun saling terdiam. Setelah kalimat terakhirku tadi, aku tak tahu mau bilang apalagi. Sepertinya dia juga begitu…

Angin berhembus menerpa kami.

Hari semakin gelap. Langit mulai memerah, begitu cantik. Ah.. sebentar lagi kau akan melihat betapa indahnya langit di sore hari Horan..

“Kau akan menungguku kan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh, menatap wajahnya dalam-dalam. Entah kenapa, pertanyaannya tadi terasa begitu dalam sampai ke hatiku.

“Tentu saja.” Jawabku.
“Kau selalu menjawab tentu saja!” serunya. Aku tertawa.
“Memangnya kenapa?” tanyaku tak terima.

Horan hanya menggelengkan kepalanya.

“Oh iya, Ibuku bilang.. selain untuk operasi.. aku akan melanjutkan sekolah di sana..”
“Kau? Sekolah di sana? Menetap di sana?” tanyaku.

Jantungku berdetak lebih cepat.

“Sepertinya begitu.” Jawab Horan.
“Sampai kapan?” tanyaku.

Jantungku semakin berdetak lebih cepat.

“Entahlah,” jawabnya pelan.

Kami saling terdiam..

Aku menengadah ke langit dan menghela napas.

“Aku akan pergi minggu depan.” Ucap Horan.
“Yah..setidaknya kita masih punya waktu lima hari lagi.” Balasku.
“Kau benar-benar tidak mau menahanku di sini?” tanyanya.
“Sudah ku bilang tentu saja tidak! Ini untuk kebaikanmu, mana mungkin aku bisa menahanmu!’ seruku.
Horan tersenyum, manis…sekali.
“Sepertinya kita harus segera pulang, langit mulai semakin gelap.” Ajakku. Horan hanya mengangguk.
***

Horan’s P.O.V
Saat keluar dari gerbang, terdengar langkah kaki mendekatiku. Itu pasti San. Aku tersenyum.

“Pasti kau sudah tahu ini aku,” ucapnya.
“Haha.. iya.” Jawabku tak dapat menahan tawa.

Lalu San mengamit tanganku dan mengajakku pergi.
Di sepanjang perjalanan terasa begitu sunyi.. hanya terdengar suara tongkatku. San diam sekali hari ini..

“San?” panggilku.
“Ya?” sahutnya.
“Kau diam sekali.. Kenapa?” tanyaku.
“Ah tidak-“
“Jangan bohong!” seruku memotong kalimatnya.
“Hmm terserah kau saja..” balasnya.

Tumben sekali San bilang terserah, biasanya dia tidak mau kalah..

Pasti ada sesuatu.

“Kita ke taman dulu ya?” tawar San. Aku tersenyum dan mengangguk senang.
***

Hmm.. aku senang sekali berada di atmosfer seperti ini. Udara di taman begitu sejuk. Pasti di sini banyak tumbuhan hijau, jadi banyak oksigen..

Aku tak sabar untuk melihat taman ini.. pasti indah.. apalagi dengan San di sampingku..

Ah iya, bicara tentang San.. semenjak duduk di bangku taman, dia hanya diam, entah apa yang sedang dia pikirkan.. yang pasti aku yakin itu mengganggunya.

Ternyata rasanya gak enak juga ya. Tidak dipedulikan.

Sunyi.

“Saaaan.. kau ini kenapa sih?! Kenapa diam terus? Kau membuatku bingung!” tanyaku kesal, lebih tepatnya putus asa.

Aku tak mendengar jawaban apa-apa. Namun, tiba-tiba San menarik lenganku dan dia… dia memelukku…

“Kau ini… daritadi bertanya terus aku kenapa. Diamlah sebentar.” Ucapnya.
“San aku-“
"Ku mohon diam ya, 2 menit saja.” Ucapnya memotong kalimatku.
“San..”
“Biarkan aku memelukmu. Diamlah.” Ucapnya lagi.

Ada sesuatu yang berdetak dengan cepat di sini.. di jantungku. Seperti ada yang memompa jantungku begitu cepat.

Napasku terasa sesak dan.. aku merasa wajahku memanas.

Aku merindukannya. Ya ini aneh, aku merindukannya meskipun kini dia berada di hadapanku.

Kemudian San melepaskan pelukannya. Dia menghela napas.

“2 menitnya sudah habis.” Ucapnya. Aku tersenyum.
***