Sabtu, 12 Maret 2011

Chapter 4


Aku berada dalam mimpiku.

Aku melihatnya. Duduk di atas terumbu karang memandang lautan lepas. Debur ombak sesekali menyerbunya,namun ia tetap bergeming.Ia mengenakan hoodie hitamnya,ia tampak begitu tampan.

Aku berjalan,aku tak merasa kakiku bergerak,dan tiba-tiba saja aku sudah duduk di dekatnya. Memandang lautan lepas secara bersamaan. Angin laut berusaha menghempas,namun kita tetap bertahan.

“Aku mengundangmu lagi kan?” tanyaku.

Ia menoleh,”Ya,” jawabnya singkat.

“Apa ada yang salah?” tanyaku.

Ia menoleh lagi dan menggelengkan kepala. Ia menatapku dan tersenyum.

“Ikut aku!” ajaknya menarik tanganku. Saat kita berdiri,semuanya berubah. Kita sudah berada di pinggir danau. Danau yang indah. Ya,menurutku begitu karena selama ini aku belum pernah mengunjungi sebuah danau.

Ia menuntunku menaiki sebuah perahu kayu kecil. Ia pun naik dan duduk di hadapanku. Perahu pun maju secara perlahan.

“Kau suka?” tanyanya. Aku mengangguk senang. Danau ini warnanya begitu jernih. Danau ini terletak di antara tebing-tebing dan tanaman-tanaman indah yang merambat.

Tiba-tiba terdengar suara dentingan gitar. Aku segera menoleh dan ku lihat ia sudah memainkan gitarnya. Sejak kapan ada gitar? Hah,baru ku sadari.Ini kan sebuah mimpi,segalanya dapat terjadi.

 *Does he watch your favorite movies?
Does he hold you when you cry?
Does he let you tell him all your favorite parts
When you've seen it a million times?

Suara itu seperti menyihirku. Membuatku terdiam menatapnya. Suaranya yang lembut…

*Does he do all these things
Like I used to?
….

Tidak. Dirimu yang di dalam dunia nyata tidak melakukan semua itu. Dia bahkan tak tahu apa film favoritku. Dia pun bahkan tidak pernah melihatku menangis. Bahkan,kita jarang mengobrol,jadi bagaimana caranya aku memberitahunya bagian-bagian terindah dalam hidupku?Hanya kau yang mungkin bisa melakukan itu semua.

“Tidak ya?Dia tidak melakukan itu semua ya?” tanyamu seakan dapat membaca pikiranku.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Bodoh,” ucapmu. Aku hanya bisa tertawa,meski terdengar parau.

“Dia tak pernah melihatku. Mungkin,dia bahkan tak sadar akan kehadiranku.Aku seperti hanya numpang lewat saja.” Jawabku.

“Kenapa kau tidak membuatnya tahu?” tanyamu.

“Hah?Tahu tentang apa?” tanyaku balik.

Kau terdiam. Perahu terus berjalan pelan. Udara di sini begitu segar.

“Buat dia tahu tentang perasaanmu,” jawabmu perlahan,seakan takut menerima jawabanku nantinya.

Aku tertawa keras. Membuatnya tahu tentang perasaanku? Yang benar saja,itu sepertinya takkan mungkin terjadi. Kalaupun nanti dia tahu,dia takkan peduli. Aku tahu,dia hanya mengurusi urusan yang penting-penting saja.

“Gak mungkin-lah,aku gak mungkin kasih tahu dia.” Jawabku. Tak ada balasan lagi,kami berdua terdiam. Menikmati dunia masing-masing. Tiba-tiba aku mendengar suara air yang deras dari belakangku. Ku tatap dirinya,ia tersenyum padaku. Senyum yang berbeda,

“Ayo!” ajaknya hendak menarik tanganku.

“Hah?Ayo apa?!” tanyaku kaget. Ia tertawa.

Kita nyebur,karena di ujung sana ada air terjun.Gak mau jatuh kan?” tanyanya,masih dengan senyum yang berbeda,seperti…senyum jahil.

“Hah?!” teriakku kaget. Tapi,”..ini kan dunia mimpi,kalo jatuh pun gak akan sakit..” ucapku.

Ia tertawa lalu kali ini berhasil menarik tanganku dan mencengkeramnya dengan kuat.

Belum sempat aku menolak,ia sudah menarikku jatuh.. perahu kami terbalik. Hawa dingin menyeruak,ini seperti nyata,terlalu nyata.. Kaki dan tanganku terus bergerak panik. Satu tanganku masih dicengkeram kuat.

“Tenanglah!Lihat!” teriaknya keras sembari menghentakkan tanganku. Aku tersadar dan menatap apa yang ada di depanku. Terumbu karang… Hah?Tunggu!Terumbu karang?!

“Bukannya di danau tidak ada terumbu karang ya?” tanyaku. Ku dengar suara tawa.Lho?Bagaimana bisa tertawa dalam air? Dan..ah,saat aku bicara..aku tidak merasa sesak..tak sedikitpun air masuk ke dalam mulutku.. Ah,apa ini.. Ah iya,ini kan mimpi.

“Siapa yang bilang kita ada di danau?Kita sekarang ada di dalam taman laut Bunaken..” jawabnya.

Aku menatapnya tak percaya. Tak percaya akan apa yang baru saja ia katakan.

“Ba-bagaimana bi..sa?” tanyaku. Ia tertawa lagi,ah tawa itu..

“Sudah,jangan dipikirkan,ayo ikuti aku!” ucapnya lalu melepaskan tanganku.

Tak kusangka,aku langsung hilang keseimbangan. Aku berusaha untuk menyeimbangkan tubuhku tapi begitu sulit. Ku lihat,ia sudah berenang jauh. Aku mencoba memanggilnya namun saat aku akan berteriak,tiba-tiba air masuk ke dalam mulutku dengan cepat. Aku memejamkan mata. Kedua tangan dan kakiku terus bergerak naik turun. Aku mulai panik. Aku berteriak lagi namun semakin banyak air yang masuk ke dalam mulutku. Ku merasakan hatiku bergemuruh kencang.

“Tristaaaan!” tiba-tiba teriakan itu keluar begitu saja.

Air kembali masuk ke dalam mulutku.Mengoyak,memaksa masuk ke dalam mulutku. Aku tersedak beberapa kali. Aku merasakan tubuhku lemas. Perlahan aku membuka mata. Aku melihatnya,terdiam menatapku. Wajahnya datar. Tak ada ekspresi apapun,atau mungkin aku tak bisa membaca ekspresinya.. Ku rasakan tubuhku mulai jatuh ke bawah,menuju dasar laut. Tanganku bergerak perlahan mencoba menggapai-gapainya atau sekedar memintanya untuk segera menarikku kembali.

Ku mohon,tarik aku kembali.. jangan diam saja.. apa yang kau lakukan? Tarik aku kembali.. tolonglah.. tarik aku kembali.. jangan biarkan aku terjatuh..

Namun,ia hanya terdiam. Terdiam menatapku jatuh. Jauh menuju dasar laut. Tubuhku terasa semakin lemah. Tanganku terkulai ke bawah. Dan semua,

Gelap begitu saja. 

Tristan. 

Aku sempat menyebut nama itu tepat saat kedua mataku kembali terpejam.




* A Rocket to The Moon - Like We Used To

Kamis, 10 Maret 2011

Chapter 3


Berkali-kali aku terus melirik pada jam tanganku. Mati aku. Aku pasti telat upacara lagi kali ini. Aku terus berlari. Jangan sampai,aku jangan sampai telat lagi. Kamu pasti bisa! Mungkin dengan me-motivasi diri,aku bisa sampai di sekolah dengan lebih cepat.

Sampai di gerbang..

Seperti ada yang menusuk hatiku. Gerbangnya tertutup,ku lihat di lapangan,anak-anak yang lain sudah berbaris dengan rapi. Kepala Sekolah sudah berdiri tegap di mimbarnya. Lututku terasa lemas..

Apa yang kau lakukan?! Bodoh! Payah! Aaaaaa! Kau tahu kan,ini sudah ke sekian kalianya kau telat! Bodoh!! Kecamku pada diri sendiri. Aku menatap gerbang itu dengan tajam.

“Seharusnya kau terbuka,” ucapku pelan,terdengar begitu lirih.

“Kau mau masuk kan?” suara itu mengejutkanku. Bukan hanya karena suara itu mengejutkan,tapi,aku mengenali suara itu,aku sangat hafal akan suara itu. Aku menoleh,dan benar saja..ku mendapati dirinya sedang menatapku.

Aku hanya mengangguk.

“Percuma,aku sudah berdiri di sini sekitar lima menit yang lalu.” Ucapnya lagi. Ah,mau dia berbicara se-datar apapun,suaranya tetap lembut bagiku.

“Bukannya lima menit yang lalu belum jam tujuh ya?Seharusnya kau bisa masuk,” tanyaku.

“Upacaranya langsung dimulai ketika Kepala Sekolah datang. Dan aku datang setelah Kepala Sekolah datang,mereka tak mungkin menunggu kedatanganku dulu kan?” jawabnya begitu santai. Apa ia merasa biasa saja saat ‘telat’?

Lalu dia berbalik dan duduk bersila di depan gerbang. Wajahnya begitu tenang.
“Kau ngapain?” seruku pelan.

“Aku takkan menangis karena telat seperti dirimu,lagipula,aku baru telat hari ini saja.Mereka pasti akan memakluminya,” jawabnya begitu percaya diri dan  dia memanggil guru-guru dengan sebutan ‘mereka’.Ckckck..
Dia menganggap ‘telat’ itu biasa saja. Bagiku,telat itu mimpi buruk. Hah,sombong sekali orang ini.

“Memangnya,kau sudah telat berapa kali?” tanyanya. Aku terdiam,menghitung..

“Lima,dan ini yang ke-enam.” Jawabku se-kuat mungkin. Ia menoleh dan menatapku dengan tatapan tak percaya.

“Kau serius?!” tanyanya.

“Iya!Untuk apa juga aku berbohong!” jawabku kesal.

“Kau ini payah…apa yang kau pikirkan?Kau tahu?Kau sudah membuat rekor!” ucapnya.

Hah?! Apa?! Dia menyebutku ‘payah’?! Dasar sombong! Dia pikir,dia siapa? Aku teringat mimpiku,dia benar-benar beda dengan dirinya yang ada dalam mimpiku.

Aku terdiam,

Apa aku memang payah? Apa di matamu aku memang benar-benar payah? Seperti itukah? Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu mengenai diriku. Apakah aku sempat lewat dalam pikiranmu? Karena kau tidak pernah lewat dalam pikiranku,tapi kau terus diam dalam 
pikiranku. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang diriku..

“Hei kau,” serumu. Aku menatapmu tajam. Apa begitu cara memanggil seseorang? Kasar sekali dia!

“Duduk,upacaranya masih lama.” Ucapmu. Tanpa membalas,aku menuruti perkataanmu. Aneh kan? Hah,apa kita akan selalu menuruti setiap perkataan orang yang kita sukai? Entahlah.

Aku duduk di dekatmu,tapi,aku merasa jauh. Kenapa bisa jadi begini?

Ini hampir mirip seperti mimpiku. Duduk di dekatmu. Tapi,kita bukan memandang ladang bunga,kita memandang jalan raya yang dipenuhi mobil. Awan tak beriring meneduhkan kita,tapi malah kabur dan membiarkan kita terkena teriknya sinar matahari. Kau tidak memainkan gitar,kau tidak tersenyum padaku,dan yang paling berbeda adalah.. ini kenyataan,bukan mimpi. Kontras sekali kan perbedaannya. Ah,aku berharap kita masih ada di dalam mimpi itu..

“Kau sudah menyiapkan alasan?” tanyamu. Aku menoleh dan menggelengkan kepalaku.

“Apapun alasannya,kita bakal kena marah juga. Harus disiplin-lah,ini itu,banyaklah..ujung-ujungnya ya di omelin sama kena sanksi.” Jawabku.
Kau tertawa.

Ku menoleh untuk memastikan pendengaranku baik-baik saja.

“Kenapa?Baru dengar orang ketawa ya?” tanyamu. Aku membuang muka dan menggeleng.

“Selama ini,alasanmu apa?” tanyamu lagi.
Aku terdiam dan menghela napas,”Telat bangun karena malamnya ngerjain tugas.” Jawabku.

Kau hanya manggut-manggut seperti mengerti. Aku yakin kau tak mengerti sama sekali.

Sudah sepuluh menit berlalu,dan upacara belum selesai juga. Aku masih harus menunggu 20 menit lagi. Apa yang bisa ku lakukan? Duduk dan diam. Ya,sesekali mencuri pandang padanya lewat sudut mataku. Apa aku tidak boleh melakukan itu?

“Lebih enak duduk di sini ya,daripada upacara.Gak salah juga nih,telat..” ucapmu.
Pendapat yang aneh,aku malah ingin segera pergi dari sini kau tahu?! Jantungku semakin berdegup kencang,aku takut jika kau akan mendengarnya!

“Kau tahu?Kau ini aneh!Kita ini telat.Te-lat!Ya mungkin kamu bisa santai duduk di sini,tapi nanti waktu upacara udah selesai,kamu bakal rasakan gimana gak enaknya di hukum!” ucapku. Mmm..lebih terdengar seperti teriakan.

Kau menatapku dengan kening berkerut dan wajah kaget.

“Apa kau selalu..begini?” tanyamu.
“Maksudmu?” tanyaku.

“Meluapkan amarah dengan berteriak?” tanyamu. Aku diam. Mengasihani diriku sendiri. Apa tadi aku terdengar seperti marah?Ya kalau teriak mungkin. Tapi,apa aku terlihat seperti marah? Dia menganggapku marah?Padanya? Ah bodoh,payah…benar apa yang dia katakan. Aku memang payah kan?Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!
Aku hanya dapat diam..

~Tiba-tiba gerbang terbuka.Aku sontak berdiri,begitu pun dia. Kami membalikkan badan dan..tepat di depan kami.Seorang guru piket menatap kami dengan tatapan garang. Aku memulai membaca surat-surat pendek yang biasa diajarkan oleh Ibuku. Oh Tuhan. Tidaaaaaaak,jangan mimpi buruk ini lagi..

“Mau sekolah gak kalian?!” tanya guru itu,namanya Bu Dewi.

“Mau,Bu.” Ucapnya duluan.

“Iya,Bu,mau.” Jawabku menimpali.

“Kalian mau sukses kan?!” tanya Bu Dewi lagi,suaranya masih tinggi.

“Mau,Bu.” Jawab kami bersamaan.

“Kurang keras!MAU TIDAK?!”

“MAU,BU!” jawab kami bersamaan dengan nada yang lebih tinggi.

“Kalo mau, kenapa gak disiplin?!” tanya Bu Dewi lagi.

Ah aku bingung,kenapa harus berbelit-belit sih?
Tak ada yang menjawab satu pertanyaan itu. Bu Dewi menarik napasnya lalu menghembuskan napasnya lagi. Terdengar kecewa. Oh..

“Kamu,Nesha.Sudah berapa kali sih Ibu bilang?Ja-ngan-te-lat!Sudah berapa kali kamu telat?!” JLEB. Pertanyaan itu langsung menuju hatiku. Rasanya aku terjatuh dalam lubang hitam..

“Maaf,Bu..” jawabku pelan.

“Bukan maaf yang Ibu minta,Neshaaa.Ibu butuh jawaban,sudah berapa kali kamu telat?!Ibu rasa bukan Cuma satu-dua kali kamu telat!” JLEB(lagi).

“Ini sudah yang ke-enam,Bu..” jawabku berusaha tenang,padahal bagiku bumi sudah terasa gonjang-ganjing.

“Astagfirulloh,Nesha,Nesha.. ari kamu teh kunaon telat wae?”

“Maaf,Bu,saya telat bangun..malamnya saya ngerjain tugas..” jawabku.

“Bener kamu ngerjain tugas?” tanya Bu Dewi. Aku mengangguk.

“Tugas apa?Coba Ibu mau lihat,” tanya Bu Dewi lagi.

Untung saja alasan kali ini benar-benar mengerjakan tugas. Ku keluarkan berlembar-lembar tugas Matematika dari tas-ku. Bu Dewi melihatnya dengan teliti.

“Se-banyak ini?” tanya Bu Dewi. Aku hanya mengangguk.

“Tugas ini diberikan pada hari apa?” tanya Bu Dewi.

“Hari Jumat,Bu.” Jawabku.

“Seharusnya kamu bisa mengerjakaannya di hari Sabtu dan Minggu,kan?” tanya Bu Dewi.

“Sebenarnya saya sudah kerjakan se-per-empatnya Bu,tapi bukunya hilang.Saya mau beli di toko bukunya tapi tutup terus.Lalu saya coba tanya di perpustakaan,katanya bukunya sudah habis.Trus akhirnya saya pinjam buku punya teman,itu pun saya baru bisa pinjam Minggu sore.” Jawabku. Ah,penjelasanku terasa begitu panjang.Tapi memang itu kenyataannya.

Bu Dewi hanya mengangguk-angguk lalu mengembalikan lembaran-lembaran kertas tugas itu padaku. Dan matanya beralih..

“Dan kamu,Tristan.Kenapa hari ini kamu bisa telat?Biasanya kamu selalu tepat waktu kalau upacara.” Tanya Bu Dewi.

Dia diam lalu menjawab.

“Saya telat bangun juga,Bu.” Jawabnya.

“Kenapa telat bangun?Malamnya kamu ngapain?” tanya Bu Dewi.

“Saya gak bisa tidur,Bu.Saya baru bisa tidur jam 2 pagi.” Jawabnya.

“Kok bisa?” tanya Bu Dewi masih belum puas dengan jawaban Bu Dewi.

“Saya juga kurang tahu Bu.Mungkin ada bagian di otak saya yang masih terus bekerja,seperti berpikir.Memang Bu,malam itu saya terus berpikir.Saya gak bisa berhenti berpikir.Tiba-tiba beribu pertanyaan memenuhi otak saya.Aneh kan Bu,saya juga bingung..” tuturnya dengan pembawaan yang tenang dan serius.
Aku melongo,apa itu benar-benar terjadi?

Bu Dewi terdiam, “Ya sudah,kalian berdua langsung masuk kelas aja.Kali ini saya beri kalian keringanan.Tapi,kalau lain kali masih telat,saya gak akan beri keringanan lagi.Mengerti?”

“Iya,Bu.Makasih Bu.” Jawabku lalu mencium tangan Bu Dewi dan segera masuk ke kelas. Di-ikuti dengan Tristan.

Kami berjalan berdampingan.

“Alasan kamu beneran?Kok bisa gitu otak kamu?” tanyaku. Tristan menoleh sekilas dan tersenyum.

“Berbohong untuk keselamatan,gak ada salahnya kan?Hehe..” jawabnya lalu berlari kecil mendahuluiku.

Aku terdiam,WHAT?!



Sabtu, 05 Maret 2011

Chapter 2

Aku menghela napas panjang. Hari terasa begitu berat. Lama-lama betis-ku bisa tambah besar,ya,aku selalu naik sepeda jika berangkat mau pun pulang sekolah. Ah,biarlah,daripada jalan kaki. Itu akan lebih membunuhku.

Ah,kau,matahari…kenapa terik sekali. Apa dari dulu memang seperti itu? Hanya terhalang oleh lapisan ozon..dan sekarang ozon sudah bolong-bolong..jadi,apakah panasmu yang asli memang seperti ini? Aku bisa gosong lama-lama..

Puisi itu..

‘..bagai porselen cantik dengan se-tangkai mawar..
Ia menarikku…’

Aku penasaran sekali dengan puisinya. Apa makna dari puisi itu? Terasa nyata,atau hanya perasaanku saja ya? Setiap kata-katanya,terasa.. Menyentuh sekali,dan ya seperti yang ku bilang,puisi itu terasa nyata. Apa pengalaman pribadinya? Kulit porselen? Se-tangkai mawar? Apa puisi itu ia buat untuk seorang perempuan? Ah..beruntung sekali perempuan itu..

Perlahan ku baringkan kepala ini di atas bantal. Rasanya begitu nikmat..kepalaku memang sudah terasa berat sekali. Dan di sepanjang perjalanan menuju rumah,kepalaku agak pusing.
Ku pejamkan mata. Mungkin aku memang butuh tidur siang untuk saat ini.




Dan puisi itu,wajahnya,mata sapphirenya..terus terbayang dalam ingatanku. Oh Tuhan..

Mimpi. Aku yakin ini mimpi. Karena aku tak mungkin bisa se-dekat ini dengannya. Duduk di sebuah bangku yang menghadap luasnya ladang bunga berwarna-warni. Matahari tetap bersinar,dan awan-awan ber-iring membuat kami merasa teduh.

Ku menoleh dan ku dapati kau memetik senar gitarmu perlahan. Mendentingkan nada-nada indah. Aku selalu suka suasana seperti ini. Tenang dan damai. Kau menoleh dan tersenyum padaku,sesuatu yang belum pernah ku dapatkan dalam dunia nyata. Aku tertawa miris,aku hanya bisa mendapatkannya dalam dunia mimpi. Benar begitu bukan?

Biarlah,aku juga bahagia bila hanya mimpi.

“Kenapa kau ada di dalam mimpiku?” tanyaku. Kau tersenyum,jemarimu tetap menari di atas senar-senar itu.

“Kau yang mengundangku,” jawabmu santai.

“Mengundang bagaimana?” tanyaku bingung. Kau tersenyum lagi. Tersenyumlah terus,karena senyummu itu hanya bisa ku dapatkan dalam dunia mimpi ini.

“Dengan memikirkanku.” Jawabmu. Aku terdiam. Begitukah kenyataannya? Sepertinya memang begitu.

“Jadi…setiap kali..aku memikirkanmu..kau..akan datang ke dalam mimpiku?” tanyaku hati-hati. Kau menoleh dan kini kau tertawa,

“Begitulah.” Jawabmu masih dengan nada santai.

Petikan gitarmu masih berlanjut. Aku hanya diam mendengarkan. Mimpi ini,terasa nyata,terlalu nyata bagiku. Aku sedih. Tapi,inilah kenyataan. Jika aku tak bisa menghadapi kenyataan,aku bisa hancur. Dan entah bagaimana caranya,kau yang selalu menguatkanku..

“Kau tidak lelah?” tanyamu lembut. Suara yang begitu lembut.

“Lelah?Lelah karena apa?” tanyaku balik. Kau tersenyum,lagi.

“Terus memikirkanku,apa kau membuat sebuah ruangan khusus di kepalamu itu untuk aku?” tanyamu. Aku tertawa pelan.

Dan aku mengangguk. “Apa tidak boleh?” tanyaku. Kau menggeleng. Berarti,kau tidak keberatan.

“Aku lelah,” ucapmu.

“Lelah kenapa?” tanyaku. Kau menoleh dan menatapku tepat di kedua mataku. Mata sapphire itu,membius.

“Lelah hanya menjadi mimpimu.” Jawabmu. Aku terdiam,perkataanmu..

“Hanya menjadi sebuah ilusi,imajinasimu,aku hanya menjadi bayangan semu.. Kau tahu? Itu membuatku lelah..” ucapmu lagi.

Aku masih terdiam,membisu.

“Tapi,..” Kau menghentikan petikan gitarmu. Aku menoleh dan kau juga,mata kita bertemu pada satu garis.

"..aku akan melakukannya hanya untukmu. Karenamu,” ucapmu.

Ku merasakan ada yang membuncah dari dalam hatiku dan aku menahannya segera sebelum sempat meledak.

Aku teringat. Ini hanya mimpi,hanya mimpi,ingat,ini hanya mimpi. Dan selalu akan begitu. Selalu akan menjadi mimpi.



To be continued..

Jumat, 04 Maret 2011

Chapter 1

Aku sangat ingat akan momen itu. Ya,seperti biasa,aku selalu mengingat dan menyimpan semua momen-momen itu. Momen-momen yang sepertinya hanya special untuk diriku. 
Biarlah tetap menjadi seperti itu,aku sudah senang.

Dan mungkin,momen itu akan selalu aku ingat sepanjang hidupku. Pada sebuah chapter khusus,tentang aku dan,kamu tentu saja.

Mata biru sapphire itu,yang selalu aku ingin tatap darimu. Yang selalu menyejukkanku. Membuatku merasa damai dan tenang.

Aku, terjebak dalam medan magnet-mu. Aku tak tahu bagaimana caranya menjauh. Aku ferromagnetik. Kau mengerti kan? Ya,aku pasti akan selalu tertarik. Garis-garis gaya magnet-mu selalu berhasil menarikku kembali saat ku mencoba mendorong diriku jauh-jauh darimu.


Hari itu,matahari belum terlalu tinggi. Dari balik jendela,aku mendapatkanmu terduduk diam di bangkumu. Satu tanganmu memegang gitar,satu tangan lagi kau bebaskan. Ku hentikan langkahku,aku ingin melihat,menunggumu memainkan gitar itu. Tapi,tatapanmu lurus ke depan,tak ada tanda-tanda untuk memainkan gitarmu.

Lalu,jemarimu pun memetikkan senar-senar gitar itu. Aku dapat merasakan sengatan itu,sengatan melodi yang sangat indah menyentuh hatiku. Kau tahu itu? Aku ingin sekali mengatakan itu.

“Kau,yang dibalik jendela.Masuklah,” suara itu terdengar setelah kau menghentikan petikan gitarmu.

Dengan langkah gemetar aku memasuki kelas. Kau menatapku tajam,dan mata sapphire itu. Itu salah satu kelemahanku.

“Kenapa kau diam di luar?” tanyamu.

“Karena,…mmm karena aku takut mengganggu,” jawabku. Kau mendengus dan berdiri dari bangkumu,kau simpan gitar itu perlahan.

“Lebih baik menganggu daripada mengintip dari luar.” Ucapmu lalu kau pergi begitu saja. Kau tahu? Itu salah satu momen yang cukup menyakitkan untukku.
***

Aku tidak bisa mengatakan suka padamu. Tapi,aku tak bisa menyangkal bila kenyataannya aku benar-benar menyukaimu.

Hanya saja,kau tak pernah sedikit pun melihatku. Aku di sini,apa jangan-jangan kau tak menyadari keberadaanku? Apa aku hanya sebuah bayangan lalu? Karena kau selalu bersikap seperti itu,kau lebih dingin dari tumpukan es di kutub utara maupun kutub selatan. Kau selalu bersikap tak acuh,apa kau sadar itu?

Seharusnya aku sudah lama membencimu. Tapi,mata sapphire itu. Ah,memang benar-benar kelemahanku.

Bagaimana bisa aku menjauh darimu? Jika aku adalah bulan yang selau be-revolusi pada bumi? Yaitu,kau. Apa? Apa yang dapat ku lakukan. Jika aku selalu tertarik pada gravitasi bumi,dimana gravitasi bumi itu adalah kau.


Momen selanjutnya,

Puisi. Ah,aku selalu payah dalam puisi.

Tapi…..banyak orang bilang. Seseorang yang sedang menyukai seseorang biasanya selalu bisa membuat puisi tanpa di sadari. Jadi,puisi-puisi itu bagai mengalir langsung dari dalam jiwanya. Yang pasti,puisi bertemakan perasaan itu. Kau mengerti kan maksudku,

Dan aku kalah lagi darimu,
Puisi adalah hal yang mudah bagimu. Kau pintar dalam bidang itu,bahkan kau pintar dalam segala bidang. Tapi,aku tidak akan kalah darimu. Dengarlah ini,aku tak-akan-kalah-darimu-ya.

Puisi yang telah dibuat pun dikumpulkan. Aku yang menjadi pengumpulnya. Lalu terkumpul semua dan hendak ku bawa ke ruang guru. Namun,sebelum itu,aku duduk di bangku taman. Mencari nama-mu dalam tumpukan puisi itu. Dan kutemukan satu,kertas yang sepertinya akan menjadi kertas yang paling indah. Aku memegangnya perlahan dan membacanya baris per baris.

Bagai laut penuh badai,
Perahu yang terombang-ambing,
Mendekati terumbu karang,
Dan akhirnya karam..

Sebuah garis petir menghantam,
Menyengat menembus rongga dada,
Sejatinya aku adalah perahu itu,
Berlayar tanpa arah,
Tanpa nahkoda,

Sesuatu menarikku menembus lautan,
Bukan sebuah magnet,
Namun persis seperti magnet,
Mengulurkan tangannya padaku,

Lebih kuat dari sekedar magnet,
Tersungging senyum pada bibirnya,
Kulit putih nan merona,
Bagai porselen cantik dengan setangkai mawar,

Ia menarikku…



To be continued... 

Sabtu, 12 Maret 2011

Chapter 4


Aku berada dalam mimpiku.

Aku melihatnya. Duduk di atas terumbu karang memandang lautan lepas. Debur ombak sesekali menyerbunya,namun ia tetap bergeming.Ia mengenakan hoodie hitamnya,ia tampak begitu tampan.

Aku berjalan,aku tak merasa kakiku bergerak,dan tiba-tiba saja aku sudah duduk di dekatnya. Memandang lautan lepas secara bersamaan. Angin laut berusaha menghempas,namun kita tetap bertahan.

“Aku mengundangmu lagi kan?” tanyaku.

Ia menoleh,”Ya,” jawabnya singkat.

“Apa ada yang salah?” tanyaku.

Ia menoleh lagi dan menggelengkan kepala. Ia menatapku dan tersenyum.

“Ikut aku!” ajaknya menarik tanganku. Saat kita berdiri,semuanya berubah. Kita sudah berada di pinggir danau. Danau yang indah. Ya,menurutku begitu karena selama ini aku belum pernah mengunjungi sebuah danau.

Ia menuntunku menaiki sebuah perahu kayu kecil. Ia pun naik dan duduk di hadapanku. Perahu pun maju secara perlahan.

“Kau suka?” tanyanya. Aku mengangguk senang. Danau ini warnanya begitu jernih. Danau ini terletak di antara tebing-tebing dan tanaman-tanaman indah yang merambat.

Tiba-tiba terdengar suara dentingan gitar. Aku segera menoleh dan ku lihat ia sudah memainkan gitarnya. Sejak kapan ada gitar? Hah,baru ku sadari.Ini kan sebuah mimpi,segalanya dapat terjadi.

 *Does he watch your favorite movies?
Does he hold you when you cry?
Does he let you tell him all your favorite parts
When you've seen it a million times?

Suara itu seperti menyihirku. Membuatku terdiam menatapnya. Suaranya yang lembut…

*Does he do all these things
Like I used to?
….

Tidak. Dirimu yang di dalam dunia nyata tidak melakukan semua itu. Dia bahkan tak tahu apa film favoritku. Dia pun bahkan tidak pernah melihatku menangis. Bahkan,kita jarang mengobrol,jadi bagaimana caranya aku memberitahunya bagian-bagian terindah dalam hidupku?Hanya kau yang mungkin bisa melakukan itu semua.

“Tidak ya?Dia tidak melakukan itu semua ya?” tanyamu seakan dapat membaca pikiranku.

Aku menggelengkan kepalaku.

"Bodoh,” ucapmu. Aku hanya bisa tertawa,meski terdengar parau.

“Dia tak pernah melihatku. Mungkin,dia bahkan tak sadar akan kehadiranku.Aku seperti hanya numpang lewat saja.” Jawabku.

“Kenapa kau tidak membuatnya tahu?” tanyamu.

“Hah?Tahu tentang apa?” tanyaku balik.

Kau terdiam. Perahu terus berjalan pelan. Udara di sini begitu segar.

“Buat dia tahu tentang perasaanmu,” jawabmu perlahan,seakan takut menerima jawabanku nantinya.

Aku tertawa keras. Membuatnya tahu tentang perasaanku? Yang benar saja,itu sepertinya takkan mungkin terjadi. Kalaupun nanti dia tahu,dia takkan peduli. Aku tahu,dia hanya mengurusi urusan yang penting-penting saja.

“Gak mungkin-lah,aku gak mungkin kasih tahu dia.” Jawabku. Tak ada balasan lagi,kami berdua terdiam. Menikmati dunia masing-masing. Tiba-tiba aku mendengar suara air yang deras dari belakangku. Ku tatap dirinya,ia tersenyum padaku. Senyum yang berbeda,

“Ayo!” ajaknya hendak menarik tanganku.

“Hah?Ayo apa?!” tanyaku kaget. Ia tertawa.

Kita nyebur,karena di ujung sana ada air terjun.Gak mau jatuh kan?” tanyanya,masih dengan senyum yang berbeda,seperti…senyum jahil.

“Hah?!” teriakku kaget. Tapi,”..ini kan dunia mimpi,kalo jatuh pun gak akan sakit..” ucapku.

Ia tertawa lalu kali ini berhasil menarik tanganku dan mencengkeramnya dengan kuat.

Belum sempat aku menolak,ia sudah menarikku jatuh.. perahu kami terbalik. Hawa dingin menyeruak,ini seperti nyata,terlalu nyata.. Kaki dan tanganku terus bergerak panik. Satu tanganku masih dicengkeram kuat.

“Tenanglah!Lihat!” teriaknya keras sembari menghentakkan tanganku. Aku tersadar dan menatap apa yang ada di depanku. Terumbu karang… Hah?Tunggu!Terumbu karang?!

“Bukannya di danau tidak ada terumbu karang ya?” tanyaku. Ku dengar suara tawa.Lho?Bagaimana bisa tertawa dalam air? Dan..ah,saat aku bicara..aku tidak merasa sesak..tak sedikitpun air masuk ke dalam mulutku.. Ah,apa ini.. Ah iya,ini kan mimpi.

“Siapa yang bilang kita ada di danau?Kita sekarang ada di dalam taman laut Bunaken..” jawabnya.

Aku menatapnya tak percaya. Tak percaya akan apa yang baru saja ia katakan.

“Ba-bagaimana bi..sa?” tanyaku. Ia tertawa lagi,ah tawa itu..

“Sudah,jangan dipikirkan,ayo ikuti aku!” ucapnya lalu melepaskan tanganku.

Tak kusangka,aku langsung hilang keseimbangan. Aku berusaha untuk menyeimbangkan tubuhku tapi begitu sulit. Ku lihat,ia sudah berenang jauh. Aku mencoba memanggilnya namun saat aku akan berteriak,tiba-tiba air masuk ke dalam mulutku dengan cepat. Aku memejamkan mata. Kedua tangan dan kakiku terus bergerak naik turun. Aku mulai panik. Aku berteriak lagi namun semakin banyak air yang masuk ke dalam mulutku. Ku merasakan hatiku bergemuruh kencang.

“Tristaaaan!” tiba-tiba teriakan itu keluar begitu saja.

Air kembali masuk ke dalam mulutku.Mengoyak,memaksa masuk ke dalam mulutku. Aku tersedak beberapa kali. Aku merasakan tubuhku lemas. Perlahan aku membuka mata. Aku melihatnya,terdiam menatapku. Wajahnya datar. Tak ada ekspresi apapun,atau mungkin aku tak bisa membaca ekspresinya.. Ku rasakan tubuhku mulai jatuh ke bawah,menuju dasar laut. Tanganku bergerak perlahan mencoba menggapai-gapainya atau sekedar memintanya untuk segera menarikku kembali.

Ku mohon,tarik aku kembali.. jangan diam saja.. apa yang kau lakukan? Tarik aku kembali.. tolonglah.. tarik aku kembali.. jangan biarkan aku terjatuh..

Namun,ia hanya terdiam. Terdiam menatapku jatuh. Jauh menuju dasar laut. Tubuhku terasa semakin lemah. Tanganku terkulai ke bawah. Dan semua,

Gelap begitu saja. 

Tristan. 

Aku sempat menyebut nama itu tepat saat kedua mataku kembali terpejam.




* A Rocket to The Moon - Like We Used To

Kamis, 10 Maret 2011

Chapter 3


Berkali-kali aku terus melirik pada jam tanganku. Mati aku. Aku pasti telat upacara lagi kali ini. Aku terus berlari. Jangan sampai,aku jangan sampai telat lagi. Kamu pasti bisa! Mungkin dengan me-motivasi diri,aku bisa sampai di sekolah dengan lebih cepat.

Sampai di gerbang..

Seperti ada yang menusuk hatiku. Gerbangnya tertutup,ku lihat di lapangan,anak-anak yang lain sudah berbaris dengan rapi. Kepala Sekolah sudah berdiri tegap di mimbarnya. Lututku terasa lemas..

Apa yang kau lakukan?! Bodoh! Payah! Aaaaaa! Kau tahu kan,ini sudah ke sekian kalianya kau telat! Bodoh!! Kecamku pada diri sendiri. Aku menatap gerbang itu dengan tajam.

“Seharusnya kau terbuka,” ucapku pelan,terdengar begitu lirih.

“Kau mau masuk kan?” suara itu mengejutkanku. Bukan hanya karena suara itu mengejutkan,tapi,aku mengenali suara itu,aku sangat hafal akan suara itu. Aku menoleh,dan benar saja..ku mendapati dirinya sedang menatapku.

Aku hanya mengangguk.

“Percuma,aku sudah berdiri di sini sekitar lima menit yang lalu.” Ucapnya lagi. Ah,mau dia berbicara se-datar apapun,suaranya tetap lembut bagiku.

“Bukannya lima menit yang lalu belum jam tujuh ya?Seharusnya kau bisa masuk,” tanyaku.

“Upacaranya langsung dimulai ketika Kepala Sekolah datang. Dan aku datang setelah Kepala Sekolah datang,mereka tak mungkin menunggu kedatanganku dulu kan?” jawabnya begitu santai. Apa ia merasa biasa saja saat ‘telat’?

Lalu dia berbalik dan duduk bersila di depan gerbang. Wajahnya begitu tenang.
“Kau ngapain?” seruku pelan.

“Aku takkan menangis karena telat seperti dirimu,lagipula,aku baru telat hari ini saja.Mereka pasti akan memakluminya,” jawabnya begitu percaya diri dan  dia memanggil guru-guru dengan sebutan ‘mereka’.Ckckck..
Dia menganggap ‘telat’ itu biasa saja. Bagiku,telat itu mimpi buruk. Hah,sombong sekali orang ini.

“Memangnya,kau sudah telat berapa kali?” tanyanya. Aku terdiam,menghitung..

“Lima,dan ini yang ke-enam.” Jawabku se-kuat mungkin. Ia menoleh dan menatapku dengan tatapan tak percaya.

“Kau serius?!” tanyanya.

“Iya!Untuk apa juga aku berbohong!” jawabku kesal.

“Kau ini payah…apa yang kau pikirkan?Kau tahu?Kau sudah membuat rekor!” ucapnya.

Hah?! Apa?! Dia menyebutku ‘payah’?! Dasar sombong! Dia pikir,dia siapa? Aku teringat mimpiku,dia benar-benar beda dengan dirinya yang ada dalam mimpiku.

Aku terdiam,

Apa aku memang payah? Apa di matamu aku memang benar-benar payah? Seperti itukah? Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu mengenai diriku. Apakah aku sempat lewat dalam pikiranmu? Karena kau tidak pernah lewat dalam pikiranku,tapi kau terus diam dalam 
pikiranku. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang diriku..

“Hei kau,” serumu. Aku menatapmu tajam. Apa begitu cara memanggil seseorang? Kasar sekali dia!

“Duduk,upacaranya masih lama.” Ucapmu. Tanpa membalas,aku menuruti perkataanmu. Aneh kan? Hah,apa kita akan selalu menuruti setiap perkataan orang yang kita sukai? Entahlah.

Aku duduk di dekatmu,tapi,aku merasa jauh. Kenapa bisa jadi begini?

Ini hampir mirip seperti mimpiku. Duduk di dekatmu. Tapi,kita bukan memandang ladang bunga,kita memandang jalan raya yang dipenuhi mobil. Awan tak beriring meneduhkan kita,tapi malah kabur dan membiarkan kita terkena teriknya sinar matahari. Kau tidak memainkan gitar,kau tidak tersenyum padaku,dan yang paling berbeda adalah.. ini kenyataan,bukan mimpi. Kontras sekali kan perbedaannya. Ah,aku berharap kita masih ada di dalam mimpi itu..

“Kau sudah menyiapkan alasan?” tanyamu. Aku menoleh dan menggelengkan kepalaku.

“Apapun alasannya,kita bakal kena marah juga. Harus disiplin-lah,ini itu,banyaklah..ujung-ujungnya ya di omelin sama kena sanksi.” Jawabku.
Kau tertawa.

Ku menoleh untuk memastikan pendengaranku baik-baik saja.

“Kenapa?Baru dengar orang ketawa ya?” tanyamu. Aku membuang muka dan menggeleng.

“Selama ini,alasanmu apa?” tanyamu lagi.
Aku terdiam dan menghela napas,”Telat bangun karena malamnya ngerjain tugas.” Jawabku.

Kau hanya manggut-manggut seperti mengerti. Aku yakin kau tak mengerti sama sekali.

Sudah sepuluh menit berlalu,dan upacara belum selesai juga. Aku masih harus menunggu 20 menit lagi. Apa yang bisa ku lakukan? Duduk dan diam. Ya,sesekali mencuri pandang padanya lewat sudut mataku. Apa aku tidak boleh melakukan itu?

“Lebih enak duduk di sini ya,daripada upacara.Gak salah juga nih,telat..” ucapmu.
Pendapat yang aneh,aku malah ingin segera pergi dari sini kau tahu?! Jantungku semakin berdegup kencang,aku takut jika kau akan mendengarnya!

“Kau tahu?Kau ini aneh!Kita ini telat.Te-lat!Ya mungkin kamu bisa santai duduk di sini,tapi nanti waktu upacara udah selesai,kamu bakal rasakan gimana gak enaknya di hukum!” ucapku. Mmm..lebih terdengar seperti teriakan.

Kau menatapku dengan kening berkerut dan wajah kaget.

“Apa kau selalu..begini?” tanyamu.
“Maksudmu?” tanyaku.

“Meluapkan amarah dengan berteriak?” tanyamu. Aku diam. Mengasihani diriku sendiri. Apa tadi aku terdengar seperti marah?Ya kalau teriak mungkin. Tapi,apa aku terlihat seperti marah? Dia menganggapku marah?Padanya? Ah bodoh,payah…benar apa yang dia katakan. Aku memang payah kan?Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!
Aku hanya dapat diam..

~Tiba-tiba gerbang terbuka.Aku sontak berdiri,begitu pun dia. Kami membalikkan badan dan..tepat di depan kami.Seorang guru piket menatap kami dengan tatapan garang. Aku memulai membaca surat-surat pendek yang biasa diajarkan oleh Ibuku. Oh Tuhan. Tidaaaaaaak,jangan mimpi buruk ini lagi..

“Mau sekolah gak kalian?!” tanya guru itu,namanya Bu Dewi.

“Mau,Bu.” Ucapnya duluan.

“Iya,Bu,mau.” Jawabku menimpali.

“Kalian mau sukses kan?!” tanya Bu Dewi lagi,suaranya masih tinggi.

“Mau,Bu.” Jawab kami bersamaan.

“Kurang keras!MAU TIDAK?!”

“MAU,BU!” jawab kami bersamaan dengan nada yang lebih tinggi.

“Kalo mau, kenapa gak disiplin?!” tanya Bu Dewi lagi.

Ah aku bingung,kenapa harus berbelit-belit sih?
Tak ada yang menjawab satu pertanyaan itu. Bu Dewi menarik napasnya lalu menghembuskan napasnya lagi. Terdengar kecewa. Oh..

“Kamu,Nesha.Sudah berapa kali sih Ibu bilang?Ja-ngan-te-lat!Sudah berapa kali kamu telat?!” JLEB. Pertanyaan itu langsung menuju hatiku. Rasanya aku terjatuh dalam lubang hitam..

“Maaf,Bu..” jawabku pelan.

“Bukan maaf yang Ibu minta,Neshaaa.Ibu butuh jawaban,sudah berapa kali kamu telat?!Ibu rasa bukan Cuma satu-dua kali kamu telat!” JLEB(lagi).

“Ini sudah yang ke-enam,Bu..” jawabku berusaha tenang,padahal bagiku bumi sudah terasa gonjang-ganjing.

“Astagfirulloh,Nesha,Nesha.. ari kamu teh kunaon telat wae?”

“Maaf,Bu,saya telat bangun..malamnya saya ngerjain tugas..” jawabku.

“Bener kamu ngerjain tugas?” tanya Bu Dewi. Aku mengangguk.

“Tugas apa?Coba Ibu mau lihat,” tanya Bu Dewi lagi.

Untung saja alasan kali ini benar-benar mengerjakan tugas. Ku keluarkan berlembar-lembar tugas Matematika dari tas-ku. Bu Dewi melihatnya dengan teliti.

“Se-banyak ini?” tanya Bu Dewi. Aku hanya mengangguk.

“Tugas ini diberikan pada hari apa?” tanya Bu Dewi.

“Hari Jumat,Bu.” Jawabku.

“Seharusnya kamu bisa mengerjakaannya di hari Sabtu dan Minggu,kan?” tanya Bu Dewi.

“Sebenarnya saya sudah kerjakan se-per-empatnya Bu,tapi bukunya hilang.Saya mau beli di toko bukunya tapi tutup terus.Lalu saya coba tanya di perpustakaan,katanya bukunya sudah habis.Trus akhirnya saya pinjam buku punya teman,itu pun saya baru bisa pinjam Minggu sore.” Jawabku. Ah,penjelasanku terasa begitu panjang.Tapi memang itu kenyataannya.

Bu Dewi hanya mengangguk-angguk lalu mengembalikan lembaran-lembaran kertas tugas itu padaku. Dan matanya beralih..

“Dan kamu,Tristan.Kenapa hari ini kamu bisa telat?Biasanya kamu selalu tepat waktu kalau upacara.” Tanya Bu Dewi.

Dia diam lalu menjawab.

“Saya telat bangun juga,Bu.” Jawabnya.

“Kenapa telat bangun?Malamnya kamu ngapain?” tanya Bu Dewi.

“Saya gak bisa tidur,Bu.Saya baru bisa tidur jam 2 pagi.” Jawabnya.

“Kok bisa?” tanya Bu Dewi masih belum puas dengan jawaban Bu Dewi.

“Saya juga kurang tahu Bu.Mungkin ada bagian di otak saya yang masih terus bekerja,seperti berpikir.Memang Bu,malam itu saya terus berpikir.Saya gak bisa berhenti berpikir.Tiba-tiba beribu pertanyaan memenuhi otak saya.Aneh kan Bu,saya juga bingung..” tuturnya dengan pembawaan yang tenang dan serius.
Aku melongo,apa itu benar-benar terjadi?

Bu Dewi terdiam, “Ya sudah,kalian berdua langsung masuk kelas aja.Kali ini saya beri kalian keringanan.Tapi,kalau lain kali masih telat,saya gak akan beri keringanan lagi.Mengerti?”

“Iya,Bu.Makasih Bu.” Jawabku lalu mencium tangan Bu Dewi dan segera masuk ke kelas. Di-ikuti dengan Tristan.

Kami berjalan berdampingan.

“Alasan kamu beneran?Kok bisa gitu otak kamu?” tanyaku. Tristan menoleh sekilas dan tersenyum.

“Berbohong untuk keselamatan,gak ada salahnya kan?Hehe..” jawabnya lalu berlari kecil mendahuluiku.

Aku terdiam,WHAT?!



Sabtu, 05 Maret 2011

Chapter 2

Aku menghela napas panjang. Hari terasa begitu berat. Lama-lama betis-ku bisa tambah besar,ya,aku selalu naik sepeda jika berangkat mau pun pulang sekolah. Ah,biarlah,daripada jalan kaki. Itu akan lebih membunuhku.

Ah,kau,matahari…kenapa terik sekali. Apa dari dulu memang seperti itu? Hanya terhalang oleh lapisan ozon..dan sekarang ozon sudah bolong-bolong..jadi,apakah panasmu yang asli memang seperti ini? Aku bisa gosong lama-lama..

Puisi itu..

‘..bagai porselen cantik dengan se-tangkai mawar..
Ia menarikku…’

Aku penasaran sekali dengan puisinya. Apa makna dari puisi itu? Terasa nyata,atau hanya perasaanku saja ya? Setiap kata-katanya,terasa.. Menyentuh sekali,dan ya seperti yang ku bilang,puisi itu terasa nyata. Apa pengalaman pribadinya? Kulit porselen? Se-tangkai mawar? Apa puisi itu ia buat untuk seorang perempuan? Ah..beruntung sekali perempuan itu..

Perlahan ku baringkan kepala ini di atas bantal. Rasanya begitu nikmat..kepalaku memang sudah terasa berat sekali. Dan di sepanjang perjalanan menuju rumah,kepalaku agak pusing.
Ku pejamkan mata. Mungkin aku memang butuh tidur siang untuk saat ini.




Dan puisi itu,wajahnya,mata sapphirenya..terus terbayang dalam ingatanku. Oh Tuhan..

Mimpi. Aku yakin ini mimpi. Karena aku tak mungkin bisa se-dekat ini dengannya. Duduk di sebuah bangku yang menghadap luasnya ladang bunga berwarna-warni. Matahari tetap bersinar,dan awan-awan ber-iring membuat kami merasa teduh.

Ku menoleh dan ku dapati kau memetik senar gitarmu perlahan. Mendentingkan nada-nada indah. Aku selalu suka suasana seperti ini. Tenang dan damai. Kau menoleh dan tersenyum padaku,sesuatu yang belum pernah ku dapatkan dalam dunia nyata. Aku tertawa miris,aku hanya bisa mendapatkannya dalam dunia mimpi. Benar begitu bukan?

Biarlah,aku juga bahagia bila hanya mimpi.

“Kenapa kau ada di dalam mimpiku?” tanyaku. Kau tersenyum,jemarimu tetap menari di atas senar-senar itu.

“Kau yang mengundangku,” jawabmu santai.

“Mengundang bagaimana?” tanyaku bingung. Kau tersenyum lagi. Tersenyumlah terus,karena senyummu itu hanya bisa ku dapatkan dalam dunia mimpi ini.

“Dengan memikirkanku.” Jawabmu. Aku terdiam. Begitukah kenyataannya? Sepertinya memang begitu.

“Jadi…setiap kali..aku memikirkanmu..kau..akan datang ke dalam mimpiku?” tanyaku hati-hati. Kau menoleh dan kini kau tertawa,

“Begitulah.” Jawabmu masih dengan nada santai.

Petikan gitarmu masih berlanjut. Aku hanya diam mendengarkan. Mimpi ini,terasa nyata,terlalu nyata bagiku. Aku sedih. Tapi,inilah kenyataan. Jika aku tak bisa menghadapi kenyataan,aku bisa hancur. Dan entah bagaimana caranya,kau yang selalu menguatkanku..

“Kau tidak lelah?” tanyamu lembut. Suara yang begitu lembut.

“Lelah?Lelah karena apa?” tanyaku balik. Kau tersenyum,lagi.

“Terus memikirkanku,apa kau membuat sebuah ruangan khusus di kepalamu itu untuk aku?” tanyamu. Aku tertawa pelan.

Dan aku mengangguk. “Apa tidak boleh?” tanyaku. Kau menggeleng. Berarti,kau tidak keberatan.

“Aku lelah,” ucapmu.

“Lelah kenapa?” tanyaku. Kau menoleh dan menatapku tepat di kedua mataku. Mata sapphire itu,membius.

“Lelah hanya menjadi mimpimu.” Jawabmu. Aku terdiam,perkataanmu..

“Hanya menjadi sebuah ilusi,imajinasimu,aku hanya menjadi bayangan semu.. Kau tahu? Itu membuatku lelah..” ucapmu lagi.

Aku masih terdiam,membisu.

“Tapi,..” Kau menghentikan petikan gitarmu. Aku menoleh dan kau juga,mata kita bertemu pada satu garis.

"..aku akan melakukannya hanya untukmu. Karenamu,” ucapmu.

Ku merasakan ada yang membuncah dari dalam hatiku dan aku menahannya segera sebelum sempat meledak.

Aku teringat. Ini hanya mimpi,hanya mimpi,ingat,ini hanya mimpi. Dan selalu akan begitu. Selalu akan menjadi mimpi.



To be continued..

Jumat, 04 Maret 2011

Chapter 1

Aku sangat ingat akan momen itu. Ya,seperti biasa,aku selalu mengingat dan menyimpan semua momen-momen itu. Momen-momen yang sepertinya hanya special untuk diriku. 
Biarlah tetap menjadi seperti itu,aku sudah senang.

Dan mungkin,momen itu akan selalu aku ingat sepanjang hidupku. Pada sebuah chapter khusus,tentang aku dan,kamu tentu saja.

Mata biru sapphire itu,yang selalu aku ingin tatap darimu. Yang selalu menyejukkanku. Membuatku merasa damai dan tenang.

Aku, terjebak dalam medan magnet-mu. Aku tak tahu bagaimana caranya menjauh. Aku ferromagnetik. Kau mengerti kan? Ya,aku pasti akan selalu tertarik. Garis-garis gaya magnet-mu selalu berhasil menarikku kembali saat ku mencoba mendorong diriku jauh-jauh darimu.


Hari itu,matahari belum terlalu tinggi. Dari balik jendela,aku mendapatkanmu terduduk diam di bangkumu. Satu tanganmu memegang gitar,satu tangan lagi kau bebaskan. Ku hentikan langkahku,aku ingin melihat,menunggumu memainkan gitar itu. Tapi,tatapanmu lurus ke depan,tak ada tanda-tanda untuk memainkan gitarmu.

Lalu,jemarimu pun memetikkan senar-senar gitar itu. Aku dapat merasakan sengatan itu,sengatan melodi yang sangat indah menyentuh hatiku. Kau tahu itu? Aku ingin sekali mengatakan itu.

“Kau,yang dibalik jendela.Masuklah,” suara itu terdengar setelah kau menghentikan petikan gitarmu.

Dengan langkah gemetar aku memasuki kelas. Kau menatapku tajam,dan mata sapphire itu. Itu salah satu kelemahanku.

“Kenapa kau diam di luar?” tanyamu.

“Karena,…mmm karena aku takut mengganggu,” jawabku. Kau mendengus dan berdiri dari bangkumu,kau simpan gitar itu perlahan.

“Lebih baik menganggu daripada mengintip dari luar.” Ucapmu lalu kau pergi begitu saja. Kau tahu? Itu salah satu momen yang cukup menyakitkan untukku.
***

Aku tidak bisa mengatakan suka padamu. Tapi,aku tak bisa menyangkal bila kenyataannya aku benar-benar menyukaimu.

Hanya saja,kau tak pernah sedikit pun melihatku. Aku di sini,apa jangan-jangan kau tak menyadari keberadaanku? Apa aku hanya sebuah bayangan lalu? Karena kau selalu bersikap seperti itu,kau lebih dingin dari tumpukan es di kutub utara maupun kutub selatan. Kau selalu bersikap tak acuh,apa kau sadar itu?

Seharusnya aku sudah lama membencimu. Tapi,mata sapphire itu. Ah,memang benar-benar kelemahanku.

Bagaimana bisa aku menjauh darimu? Jika aku adalah bulan yang selau be-revolusi pada bumi? Yaitu,kau. Apa? Apa yang dapat ku lakukan. Jika aku selalu tertarik pada gravitasi bumi,dimana gravitasi bumi itu adalah kau.


Momen selanjutnya,

Puisi. Ah,aku selalu payah dalam puisi.

Tapi…..banyak orang bilang. Seseorang yang sedang menyukai seseorang biasanya selalu bisa membuat puisi tanpa di sadari. Jadi,puisi-puisi itu bagai mengalir langsung dari dalam jiwanya. Yang pasti,puisi bertemakan perasaan itu. Kau mengerti kan maksudku,

Dan aku kalah lagi darimu,
Puisi adalah hal yang mudah bagimu. Kau pintar dalam bidang itu,bahkan kau pintar dalam segala bidang. Tapi,aku tidak akan kalah darimu. Dengarlah ini,aku tak-akan-kalah-darimu-ya.

Puisi yang telah dibuat pun dikumpulkan. Aku yang menjadi pengumpulnya. Lalu terkumpul semua dan hendak ku bawa ke ruang guru. Namun,sebelum itu,aku duduk di bangku taman. Mencari nama-mu dalam tumpukan puisi itu. Dan kutemukan satu,kertas yang sepertinya akan menjadi kertas yang paling indah. Aku memegangnya perlahan dan membacanya baris per baris.

Bagai laut penuh badai,
Perahu yang terombang-ambing,
Mendekati terumbu karang,
Dan akhirnya karam..

Sebuah garis petir menghantam,
Menyengat menembus rongga dada,
Sejatinya aku adalah perahu itu,
Berlayar tanpa arah,
Tanpa nahkoda,

Sesuatu menarikku menembus lautan,
Bukan sebuah magnet,
Namun persis seperti magnet,
Mengulurkan tangannya padaku,

Lebih kuat dari sekedar magnet,
Tersungging senyum pada bibirnya,
Kulit putih nan merona,
Bagai porselen cantik dengan setangkai mawar,

Ia menarikku…



To be continued...