Kamis, 10 Maret 2011

Chapter 3


Berkali-kali aku terus melirik pada jam tanganku. Mati aku. Aku pasti telat upacara lagi kali ini. Aku terus berlari. Jangan sampai,aku jangan sampai telat lagi. Kamu pasti bisa! Mungkin dengan me-motivasi diri,aku bisa sampai di sekolah dengan lebih cepat.

Sampai di gerbang..

Seperti ada yang menusuk hatiku. Gerbangnya tertutup,ku lihat di lapangan,anak-anak yang lain sudah berbaris dengan rapi. Kepala Sekolah sudah berdiri tegap di mimbarnya. Lututku terasa lemas..

Apa yang kau lakukan?! Bodoh! Payah! Aaaaaa! Kau tahu kan,ini sudah ke sekian kalianya kau telat! Bodoh!! Kecamku pada diri sendiri. Aku menatap gerbang itu dengan tajam.

“Seharusnya kau terbuka,” ucapku pelan,terdengar begitu lirih.

“Kau mau masuk kan?” suara itu mengejutkanku. Bukan hanya karena suara itu mengejutkan,tapi,aku mengenali suara itu,aku sangat hafal akan suara itu. Aku menoleh,dan benar saja..ku mendapati dirinya sedang menatapku.

Aku hanya mengangguk.

“Percuma,aku sudah berdiri di sini sekitar lima menit yang lalu.” Ucapnya lagi. Ah,mau dia berbicara se-datar apapun,suaranya tetap lembut bagiku.

“Bukannya lima menit yang lalu belum jam tujuh ya?Seharusnya kau bisa masuk,” tanyaku.

“Upacaranya langsung dimulai ketika Kepala Sekolah datang. Dan aku datang setelah Kepala Sekolah datang,mereka tak mungkin menunggu kedatanganku dulu kan?” jawabnya begitu santai. Apa ia merasa biasa saja saat ‘telat’?

Lalu dia berbalik dan duduk bersila di depan gerbang. Wajahnya begitu tenang.
“Kau ngapain?” seruku pelan.

“Aku takkan menangis karena telat seperti dirimu,lagipula,aku baru telat hari ini saja.Mereka pasti akan memakluminya,” jawabnya begitu percaya diri dan  dia memanggil guru-guru dengan sebutan ‘mereka’.Ckckck..
Dia menganggap ‘telat’ itu biasa saja. Bagiku,telat itu mimpi buruk. Hah,sombong sekali orang ini.

“Memangnya,kau sudah telat berapa kali?” tanyanya. Aku terdiam,menghitung..

“Lima,dan ini yang ke-enam.” Jawabku se-kuat mungkin. Ia menoleh dan menatapku dengan tatapan tak percaya.

“Kau serius?!” tanyanya.

“Iya!Untuk apa juga aku berbohong!” jawabku kesal.

“Kau ini payah…apa yang kau pikirkan?Kau tahu?Kau sudah membuat rekor!” ucapnya.

Hah?! Apa?! Dia menyebutku ‘payah’?! Dasar sombong! Dia pikir,dia siapa? Aku teringat mimpiku,dia benar-benar beda dengan dirinya yang ada dalam mimpiku.

Aku terdiam,

Apa aku memang payah? Apa di matamu aku memang benar-benar payah? Seperti itukah? Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu mengenai diriku. Apakah aku sempat lewat dalam pikiranmu? Karena kau tidak pernah lewat dalam pikiranku,tapi kau terus diam dalam 
pikiranku. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang diriku..

“Hei kau,” serumu. Aku menatapmu tajam. Apa begitu cara memanggil seseorang? Kasar sekali dia!

“Duduk,upacaranya masih lama.” Ucapmu. Tanpa membalas,aku menuruti perkataanmu. Aneh kan? Hah,apa kita akan selalu menuruti setiap perkataan orang yang kita sukai? Entahlah.

Aku duduk di dekatmu,tapi,aku merasa jauh. Kenapa bisa jadi begini?

Ini hampir mirip seperti mimpiku. Duduk di dekatmu. Tapi,kita bukan memandang ladang bunga,kita memandang jalan raya yang dipenuhi mobil. Awan tak beriring meneduhkan kita,tapi malah kabur dan membiarkan kita terkena teriknya sinar matahari. Kau tidak memainkan gitar,kau tidak tersenyum padaku,dan yang paling berbeda adalah.. ini kenyataan,bukan mimpi. Kontras sekali kan perbedaannya. Ah,aku berharap kita masih ada di dalam mimpi itu..

“Kau sudah menyiapkan alasan?” tanyamu. Aku menoleh dan menggelengkan kepalaku.

“Apapun alasannya,kita bakal kena marah juga. Harus disiplin-lah,ini itu,banyaklah..ujung-ujungnya ya di omelin sama kena sanksi.” Jawabku.
Kau tertawa.

Ku menoleh untuk memastikan pendengaranku baik-baik saja.

“Kenapa?Baru dengar orang ketawa ya?” tanyamu. Aku membuang muka dan menggeleng.

“Selama ini,alasanmu apa?” tanyamu lagi.
Aku terdiam dan menghela napas,”Telat bangun karena malamnya ngerjain tugas.” Jawabku.

Kau hanya manggut-manggut seperti mengerti. Aku yakin kau tak mengerti sama sekali.

Sudah sepuluh menit berlalu,dan upacara belum selesai juga. Aku masih harus menunggu 20 menit lagi. Apa yang bisa ku lakukan? Duduk dan diam. Ya,sesekali mencuri pandang padanya lewat sudut mataku. Apa aku tidak boleh melakukan itu?

“Lebih enak duduk di sini ya,daripada upacara.Gak salah juga nih,telat..” ucapmu.
Pendapat yang aneh,aku malah ingin segera pergi dari sini kau tahu?! Jantungku semakin berdegup kencang,aku takut jika kau akan mendengarnya!

“Kau tahu?Kau ini aneh!Kita ini telat.Te-lat!Ya mungkin kamu bisa santai duduk di sini,tapi nanti waktu upacara udah selesai,kamu bakal rasakan gimana gak enaknya di hukum!” ucapku. Mmm..lebih terdengar seperti teriakan.

Kau menatapku dengan kening berkerut dan wajah kaget.

“Apa kau selalu..begini?” tanyamu.
“Maksudmu?” tanyaku.

“Meluapkan amarah dengan berteriak?” tanyamu. Aku diam. Mengasihani diriku sendiri. Apa tadi aku terdengar seperti marah?Ya kalau teriak mungkin. Tapi,apa aku terlihat seperti marah? Dia menganggapku marah?Padanya? Ah bodoh,payah…benar apa yang dia katakan. Aku memang payah kan?Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!
Aku hanya dapat diam..

~Tiba-tiba gerbang terbuka.Aku sontak berdiri,begitu pun dia. Kami membalikkan badan dan..tepat di depan kami.Seorang guru piket menatap kami dengan tatapan garang. Aku memulai membaca surat-surat pendek yang biasa diajarkan oleh Ibuku. Oh Tuhan. Tidaaaaaaak,jangan mimpi buruk ini lagi..

“Mau sekolah gak kalian?!” tanya guru itu,namanya Bu Dewi.

“Mau,Bu.” Ucapnya duluan.

“Iya,Bu,mau.” Jawabku menimpali.

“Kalian mau sukses kan?!” tanya Bu Dewi lagi,suaranya masih tinggi.

“Mau,Bu.” Jawab kami bersamaan.

“Kurang keras!MAU TIDAK?!”

“MAU,BU!” jawab kami bersamaan dengan nada yang lebih tinggi.

“Kalo mau, kenapa gak disiplin?!” tanya Bu Dewi lagi.

Ah aku bingung,kenapa harus berbelit-belit sih?
Tak ada yang menjawab satu pertanyaan itu. Bu Dewi menarik napasnya lalu menghembuskan napasnya lagi. Terdengar kecewa. Oh..

“Kamu,Nesha.Sudah berapa kali sih Ibu bilang?Ja-ngan-te-lat!Sudah berapa kali kamu telat?!” JLEB. Pertanyaan itu langsung menuju hatiku. Rasanya aku terjatuh dalam lubang hitam..

“Maaf,Bu..” jawabku pelan.

“Bukan maaf yang Ibu minta,Neshaaa.Ibu butuh jawaban,sudah berapa kali kamu telat?!Ibu rasa bukan Cuma satu-dua kali kamu telat!” JLEB(lagi).

“Ini sudah yang ke-enam,Bu..” jawabku berusaha tenang,padahal bagiku bumi sudah terasa gonjang-ganjing.

“Astagfirulloh,Nesha,Nesha.. ari kamu teh kunaon telat wae?”

“Maaf,Bu,saya telat bangun..malamnya saya ngerjain tugas..” jawabku.

“Bener kamu ngerjain tugas?” tanya Bu Dewi. Aku mengangguk.

“Tugas apa?Coba Ibu mau lihat,” tanya Bu Dewi lagi.

Untung saja alasan kali ini benar-benar mengerjakan tugas. Ku keluarkan berlembar-lembar tugas Matematika dari tas-ku. Bu Dewi melihatnya dengan teliti.

“Se-banyak ini?” tanya Bu Dewi. Aku hanya mengangguk.

“Tugas ini diberikan pada hari apa?” tanya Bu Dewi.

“Hari Jumat,Bu.” Jawabku.

“Seharusnya kamu bisa mengerjakaannya di hari Sabtu dan Minggu,kan?” tanya Bu Dewi.

“Sebenarnya saya sudah kerjakan se-per-empatnya Bu,tapi bukunya hilang.Saya mau beli di toko bukunya tapi tutup terus.Lalu saya coba tanya di perpustakaan,katanya bukunya sudah habis.Trus akhirnya saya pinjam buku punya teman,itu pun saya baru bisa pinjam Minggu sore.” Jawabku. Ah,penjelasanku terasa begitu panjang.Tapi memang itu kenyataannya.

Bu Dewi hanya mengangguk-angguk lalu mengembalikan lembaran-lembaran kertas tugas itu padaku. Dan matanya beralih..

“Dan kamu,Tristan.Kenapa hari ini kamu bisa telat?Biasanya kamu selalu tepat waktu kalau upacara.” Tanya Bu Dewi.

Dia diam lalu menjawab.

“Saya telat bangun juga,Bu.” Jawabnya.

“Kenapa telat bangun?Malamnya kamu ngapain?” tanya Bu Dewi.

“Saya gak bisa tidur,Bu.Saya baru bisa tidur jam 2 pagi.” Jawabnya.

“Kok bisa?” tanya Bu Dewi masih belum puas dengan jawaban Bu Dewi.

“Saya juga kurang tahu Bu.Mungkin ada bagian di otak saya yang masih terus bekerja,seperti berpikir.Memang Bu,malam itu saya terus berpikir.Saya gak bisa berhenti berpikir.Tiba-tiba beribu pertanyaan memenuhi otak saya.Aneh kan Bu,saya juga bingung..” tuturnya dengan pembawaan yang tenang dan serius.
Aku melongo,apa itu benar-benar terjadi?

Bu Dewi terdiam, “Ya sudah,kalian berdua langsung masuk kelas aja.Kali ini saya beri kalian keringanan.Tapi,kalau lain kali masih telat,saya gak akan beri keringanan lagi.Mengerti?”

“Iya,Bu.Makasih Bu.” Jawabku lalu mencium tangan Bu Dewi dan segera masuk ke kelas. Di-ikuti dengan Tristan.

Kami berjalan berdampingan.

“Alasan kamu beneran?Kok bisa gitu otak kamu?” tanyaku. Tristan menoleh sekilas dan tersenyum.

“Berbohong untuk keselamatan,gak ada salahnya kan?Hehe..” jawabnya lalu berlari kecil mendahuluiku.

Aku terdiam,WHAT?!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kamis, 10 Maret 2011

Chapter 3


Berkali-kali aku terus melirik pada jam tanganku. Mati aku. Aku pasti telat upacara lagi kali ini. Aku terus berlari. Jangan sampai,aku jangan sampai telat lagi. Kamu pasti bisa! Mungkin dengan me-motivasi diri,aku bisa sampai di sekolah dengan lebih cepat.

Sampai di gerbang..

Seperti ada yang menusuk hatiku. Gerbangnya tertutup,ku lihat di lapangan,anak-anak yang lain sudah berbaris dengan rapi. Kepala Sekolah sudah berdiri tegap di mimbarnya. Lututku terasa lemas..

Apa yang kau lakukan?! Bodoh! Payah! Aaaaaa! Kau tahu kan,ini sudah ke sekian kalianya kau telat! Bodoh!! Kecamku pada diri sendiri. Aku menatap gerbang itu dengan tajam.

“Seharusnya kau terbuka,” ucapku pelan,terdengar begitu lirih.

“Kau mau masuk kan?” suara itu mengejutkanku. Bukan hanya karena suara itu mengejutkan,tapi,aku mengenali suara itu,aku sangat hafal akan suara itu. Aku menoleh,dan benar saja..ku mendapati dirinya sedang menatapku.

Aku hanya mengangguk.

“Percuma,aku sudah berdiri di sini sekitar lima menit yang lalu.” Ucapnya lagi. Ah,mau dia berbicara se-datar apapun,suaranya tetap lembut bagiku.

“Bukannya lima menit yang lalu belum jam tujuh ya?Seharusnya kau bisa masuk,” tanyaku.

“Upacaranya langsung dimulai ketika Kepala Sekolah datang. Dan aku datang setelah Kepala Sekolah datang,mereka tak mungkin menunggu kedatanganku dulu kan?” jawabnya begitu santai. Apa ia merasa biasa saja saat ‘telat’?

Lalu dia berbalik dan duduk bersila di depan gerbang. Wajahnya begitu tenang.
“Kau ngapain?” seruku pelan.

“Aku takkan menangis karena telat seperti dirimu,lagipula,aku baru telat hari ini saja.Mereka pasti akan memakluminya,” jawabnya begitu percaya diri dan  dia memanggil guru-guru dengan sebutan ‘mereka’.Ckckck..
Dia menganggap ‘telat’ itu biasa saja. Bagiku,telat itu mimpi buruk. Hah,sombong sekali orang ini.

“Memangnya,kau sudah telat berapa kali?” tanyanya. Aku terdiam,menghitung..

“Lima,dan ini yang ke-enam.” Jawabku se-kuat mungkin. Ia menoleh dan menatapku dengan tatapan tak percaya.

“Kau serius?!” tanyanya.

“Iya!Untuk apa juga aku berbohong!” jawabku kesal.

“Kau ini payah…apa yang kau pikirkan?Kau tahu?Kau sudah membuat rekor!” ucapnya.

Hah?! Apa?! Dia menyebutku ‘payah’?! Dasar sombong! Dia pikir,dia siapa? Aku teringat mimpiku,dia benar-benar beda dengan dirinya yang ada dalam mimpiku.

Aku terdiam,

Apa aku memang payah? Apa di matamu aku memang benar-benar payah? Seperti itukah? Aku ingin tahu apa yang ada di dalam pikiranmu mengenai diriku. Apakah aku sempat lewat dalam pikiranmu? Karena kau tidak pernah lewat dalam pikiranku,tapi kau terus diam dalam 
pikiranku. Aku ingin tahu apa pendapatmu tentang diriku..

“Hei kau,” serumu. Aku menatapmu tajam. Apa begitu cara memanggil seseorang? Kasar sekali dia!

“Duduk,upacaranya masih lama.” Ucapmu. Tanpa membalas,aku menuruti perkataanmu. Aneh kan? Hah,apa kita akan selalu menuruti setiap perkataan orang yang kita sukai? Entahlah.

Aku duduk di dekatmu,tapi,aku merasa jauh. Kenapa bisa jadi begini?

Ini hampir mirip seperti mimpiku. Duduk di dekatmu. Tapi,kita bukan memandang ladang bunga,kita memandang jalan raya yang dipenuhi mobil. Awan tak beriring meneduhkan kita,tapi malah kabur dan membiarkan kita terkena teriknya sinar matahari. Kau tidak memainkan gitar,kau tidak tersenyum padaku,dan yang paling berbeda adalah.. ini kenyataan,bukan mimpi. Kontras sekali kan perbedaannya. Ah,aku berharap kita masih ada di dalam mimpi itu..

“Kau sudah menyiapkan alasan?” tanyamu. Aku menoleh dan menggelengkan kepalaku.

“Apapun alasannya,kita bakal kena marah juga. Harus disiplin-lah,ini itu,banyaklah..ujung-ujungnya ya di omelin sama kena sanksi.” Jawabku.
Kau tertawa.

Ku menoleh untuk memastikan pendengaranku baik-baik saja.

“Kenapa?Baru dengar orang ketawa ya?” tanyamu. Aku membuang muka dan menggeleng.

“Selama ini,alasanmu apa?” tanyamu lagi.
Aku terdiam dan menghela napas,”Telat bangun karena malamnya ngerjain tugas.” Jawabku.

Kau hanya manggut-manggut seperti mengerti. Aku yakin kau tak mengerti sama sekali.

Sudah sepuluh menit berlalu,dan upacara belum selesai juga. Aku masih harus menunggu 20 menit lagi. Apa yang bisa ku lakukan? Duduk dan diam. Ya,sesekali mencuri pandang padanya lewat sudut mataku. Apa aku tidak boleh melakukan itu?

“Lebih enak duduk di sini ya,daripada upacara.Gak salah juga nih,telat..” ucapmu.
Pendapat yang aneh,aku malah ingin segera pergi dari sini kau tahu?! Jantungku semakin berdegup kencang,aku takut jika kau akan mendengarnya!

“Kau tahu?Kau ini aneh!Kita ini telat.Te-lat!Ya mungkin kamu bisa santai duduk di sini,tapi nanti waktu upacara udah selesai,kamu bakal rasakan gimana gak enaknya di hukum!” ucapku. Mmm..lebih terdengar seperti teriakan.

Kau menatapku dengan kening berkerut dan wajah kaget.

“Apa kau selalu..begini?” tanyamu.
“Maksudmu?” tanyaku.

“Meluapkan amarah dengan berteriak?” tanyamu. Aku diam. Mengasihani diriku sendiri. Apa tadi aku terdengar seperti marah?Ya kalau teriak mungkin. Tapi,apa aku terlihat seperti marah? Dia menganggapku marah?Padanya? Ah bodoh,payah…benar apa yang dia katakan. Aku memang payah kan?Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!!
Aku hanya dapat diam..

~Tiba-tiba gerbang terbuka.Aku sontak berdiri,begitu pun dia. Kami membalikkan badan dan..tepat di depan kami.Seorang guru piket menatap kami dengan tatapan garang. Aku memulai membaca surat-surat pendek yang biasa diajarkan oleh Ibuku. Oh Tuhan. Tidaaaaaaak,jangan mimpi buruk ini lagi..

“Mau sekolah gak kalian?!” tanya guru itu,namanya Bu Dewi.

“Mau,Bu.” Ucapnya duluan.

“Iya,Bu,mau.” Jawabku menimpali.

“Kalian mau sukses kan?!” tanya Bu Dewi lagi,suaranya masih tinggi.

“Mau,Bu.” Jawab kami bersamaan.

“Kurang keras!MAU TIDAK?!”

“MAU,BU!” jawab kami bersamaan dengan nada yang lebih tinggi.

“Kalo mau, kenapa gak disiplin?!” tanya Bu Dewi lagi.

Ah aku bingung,kenapa harus berbelit-belit sih?
Tak ada yang menjawab satu pertanyaan itu. Bu Dewi menarik napasnya lalu menghembuskan napasnya lagi. Terdengar kecewa. Oh..

“Kamu,Nesha.Sudah berapa kali sih Ibu bilang?Ja-ngan-te-lat!Sudah berapa kali kamu telat?!” JLEB. Pertanyaan itu langsung menuju hatiku. Rasanya aku terjatuh dalam lubang hitam..

“Maaf,Bu..” jawabku pelan.

“Bukan maaf yang Ibu minta,Neshaaa.Ibu butuh jawaban,sudah berapa kali kamu telat?!Ibu rasa bukan Cuma satu-dua kali kamu telat!” JLEB(lagi).

“Ini sudah yang ke-enam,Bu..” jawabku berusaha tenang,padahal bagiku bumi sudah terasa gonjang-ganjing.

“Astagfirulloh,Nesha,Nesha.. ari kamu teh kunaon telat wae?”

“Maaf,Bu,saya telat bangun..malamnya saya ngerjain tugas..” jawabku.

“Bener kamu ngerjain tugas?” tanya Bu Dewi. Aku mengangguk.

“Tugas apa?Coba Ibu mau lihat,” tanya Bu Dewi lagi.

Untung saja alasan kali ini benar-benar mengerjakan tugas. Ku keluarkan berlembar-lembar tugas Matematika dari tas-ku. Bu Dewi melihatnya dengan teliti.

“Se-banyak ini?” tanya Bu Dewi. Aku hanya mengangguk.

“Tugas ini diberikan pada hari apa?” tanya Bu Dewi.

“Hari Jumat,Bu.” Jawabku.

“Seharusnya kamu bisa mengerjakaannya di hari Sabtu dan Minggu,kan?” tanya Bu Dewi.

“Sebenarnya saya sudah kerjakan se-per-empatnya Bu,tapi bukunya hilang.Saya mau beli di toko bukunya tapi tutup terus.Lalu saya coba tanya di perpustakaan,katanya bukunya sudah habis.Trus akhirnya saya pinjam buku punya teman,itu pun saya baru bisa pinjam Minggu sore.” Jawabku. Ah,penjelasanku terasa begitu panjang.Tapi memang itu kenyataannya.

Bu Dewi hanya mengangguk-angguk lalu mengembalikan lembaran-lembaran kertas tugas itu padaku. Dan matanya beralih..

“Dan kamu,Tristan.Kenapa hari ini kamu bisa telat?Biasanya kamu selalu tepat waktu kalau upacara.” Tanya Bu Dewi.

Dia diam lalu menjawab.

“Saya telat bangun juga,Bu.” Jawabnya.

“Kenapa telat bangun?Malamnya kamu ngapain?” tanya Bu Dewi.

“Saya gak bisa tidur,Bu.Saya baru bisa tidur jam 2 pagi.” Jawabnya.

“Kok bisa?” tanya Bu Dewi masih belum puas dengan jawaban Bu Dewi.

“Saya juga kurang tahu Bu.Mungkin ada bagian di otak saya yang masih terus bekerja,seperti berpikir.Memang Bu,malam itu saya terus berpikir.Saya gak bisa berhenti berpikir.Tiba-tiba beribu pertanyaan memenuhi otak saya.Aneh kan Bu,saya juga bingung..” tuturnya dengan pembawaan yang tenang dan serius.
Aku melongo,apa itu benar-benar terjadi?

Bu Dewi terdiam, “Ya sudah,kalian berdua langsung masuk kelas aja.Kali ini saya beri kalian keringanan.Tapi,kalau lain kali masih telat,saya gak akan beri keringanan lagi.Mengerti?”

“Iya,Bu.Makasih Bu.” Jawabku lalu mencium tangan Bu Dewi dan segera masuk ke kelas. Di-ikuti dengan Tristan.

Kami berjalan berdampingan.

“Alasan kamu beneran?Kok bisa gitu otak kamu?” tanyaku. Tristan menoleh sekilas dan tersenyum.

“Berbohong untuk keselamatan,gak ada salahnya kan?Hehe..” jawabnya lalu berlari kecil mendahuluiku.

Aku terdiam,WHAT?!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar