Sabtu, 16 Juli 2011

Aku Percaya

Terkadang,jujur itu sulit.

Betapa hebatnya aku memendam semua perasaan ini dalam waktu yang lama.Menguncinya rapat-rapat.Mengasingkannya jauh di dalam hatiku.Bersikap seolah semuanya biasa-biasa saja,padahal hatiku tidak biasa-biasa saja.Menangis,menatapnya dari jauh,tersenyum meski ia tak melihatku,memberi perhatian lebih,…hal bodoh apa lagi yang dapat aku lakukan untuknya?Dan kenyataannya,semua itu sia-sia.Aku dekat dengannya,tapi itu terasa jauh.

Kurasa,ia pun tak pernah menyadari kehadiranku di sekitarnya.Aku hanya seorang peran pembantu atau figuran.Dan dia adalah pemeran utamanya.Yang paling dibangga-banggakan,diagung-agungkan,dan lebih diperhatikan.Kalo figuran sakit,ganti,cari figuran yang lain.Tapi,kalo pemeran utama sakit,repotnya minta ampun,mau dibawa kemana jalan cerita?Bisa kacau.

Ddddrrrtttt…suara ponsel sendiri mengagetkanku.Aku segera mengangkatnya.

“Halo?” sapaku datar.Terdengar suara klakson mobil,suara ribut motor,dan suara lainnya yang mewakilkan kondisi jalan raya.

“Del,lo sibuk?” suara itu.Suara yang sangat ku kenal,ku jauhkan ponsel dari telinga,melihat layar ponsel sekilas dan kutemukan namanya,sang pemeran utama.

“Ah?Gak.Kenapa?” tanyaku balik.

“Syukurlah.Gue udah di depan rumah lo,” jawabnya.

“Hah?Trus?” tanyaku tak mengerti. Dia berdecak.

“Temenin gue.Bentar aja,buruan turun.” Jawabnya,sedikit memaksa. Klik.Aku mematikan ponselku lalu segera keluar dari kamar dan turun ke bawah.

Saat aku membuka gerbang depan rumah,kutemukan sang pemeran utama dengan sweater biru tuanya dan wajah yang kusam.Ada lingkaran ungu tua dibawah kedua matanya.Ada masalah apa lagi dengannya?Hingga ia rela tak tidur semalaman,entah sudah berapa malam.Matanya agak memerah,rambutnya pun sedikit berantakan.Apa yang terjadi padanya?Setelah kemarin-kemarin tak ada kabar.

Ia menyambutku dengan senyuman kecil dengan lesung pipi yang kecil juga.Ia langsung menarik tanganku.Aku menahannya.

“Kenapa?” tanyanya. Aku menatap diriku dari bawah sampai atas. Sendal jepit,celana training,dan kaos.

“Lo gak pake jaket?” tanyanya. Aku menggeleng.

“Tadi lo kan nyuruh gue buruan,”  jawabku.

“Gue ambil dulu di atas.” Ucapku lalu hendak beranjak darinya sebelum ia menarikku kembali.

“Gak usah,lo pake yang gue aja.Lama lagi nunggu lo ke atas.” Ucapnya sambil membuka sweaternya lalu memberikannya padaku. Aku kebingungan,dengan satu tatapannya,aku pun segera memakai sweaternya.Tercium harum parfumnya.

“Ayo.” Ajaknya kembali menarik tanganku dan berjalan,aku menahannya kembali.

“Kenapa lagi?” tanyanya.

“Kita mau kemana sih?” tanyaku.

“Makan.Lo harus nemenin gue.” Jawabnya.

“Emangnya di rumah lo gak ada makanan?” tanyaku.

“Ada,tapi gak seru kalo gue makan sendiri.Lo harus temenin gue pokoknya.” Jawabnya.

“Tapi,gue belum ijin sama orang rumah gue.” Ucapku. Dia kembali berdecak.

“Ah,ntar aja,sms!” balasnya lalu menarik tanganku dan berlari. Dengan terpaksa aku mengikutinya berlari,meski kadang langkahku berantakan,ia cepat sekali larinya.

“Pelan-pelan!” teriakku. Ia malah tertawa lalu berbalik dan berkata.

“Buruan sebelum malem banget!” jawabnya.
***
Akhirnya kami duduk makan di pinggir jalan,kaki lima.Selain murah,makan disini lebih enak.Suasananya lebih sederhana dan simple.Malam itu kita makan pecel lele,makanan favorit kami berdua,untung saja ia mentraktirku,kebetulan aku tidak bawa dompet.

“Enak?” tanyanya.Aku mengangguk senang.

“Yaiyalah,kan gratis.” Sindirnya.

“Dasar.Kalo traktir tuh yang ikhlas!” balasku. Ia hanya tertawa.

Seketika pandangannya menerawang. Entah apa yang sedang ia pikirkan,tampaknya begitu berat baginya.Ia terbatuk-batuk. Dengan segala keberanianku,aku menyentuh lingkaran ungu di bawah salah satu bola matanya,ia tampak terkejut namun membiarkanku.

“Lo kenapa?” tanyaku lalu kusingkirkan jemari tanganku. Ia tertawa kecil dan menggeleng.

“Jangan pikir gue gak tahu.Lo kan gak suka begadang!Mata lo,Cuma mata lo yang bisa jujur.” Ucapku kesal. Dia pun terdiam. Membuang muka dariku.

“It’s ok.Gak apa kalo lo gak mau cerita,mungkin gak penting buat gue.” Ucapku lalu meminum kembali es jerukku,dinginnya naik ke kepalaku dan membuatku pusing. Lalu kurasakan telapak tangannya menepuk-nepuk kepalaku pelan. Aku menatapnya,ia menatapku,lalu ia tersenyum,dan aku pun tersenyum.Begitu cepat ia dapat membuatku tersenyum kembali,hanya dengan tatapan.Dia sulit untuk dimengerti.

“Lo perhatian banget sih sama gue,jangan terlalu perhatian,ntar lo sakit.” Ucapnya. Aku terdiam,darahku mengejang..sakit?Apa maksud ucapannya?Aku tak mengerti. Lalu ia berhenti menepuk kepalaku,terkekeh dan kembali memakan pecel lelenya. Angin malam berkeliaran di sekitar makin. Mungkin akan terasa dingin sekali jika aku tak pakai sweater miliknya. Terdengar suara kendaraan lalu lalang di jalanan,depan kami. Lampu-lampu kendaraan bermain indah di dalam gelapnya malam.

Terdengar suara Asher Book yang menghipnotis,dari ponselku. Telpon dari rumah,matilah aku.

“Halo?” sapaku pelan. Diujung sana,sudah ada suara kakak perempuanku meledak-ledak.

“Kamu dimana?!Malam-malam gini keluyuran!Sama siapa hah?!PULANG!!” Ku jauhkan ponsel dari telinga untuk beberapa saat,demi keselamatan telinga kanannku.

“Aku lagi makan di depan,sama Agi kok,bentar lagi aku pulang.” Jawabku. Mudah-mudahan saja kakakku tidak terlalu marah saat tahu aku pergi dengan Agi,mereka cukup akrab.

“Bener sama Agi?!” tanya kakakku tidak percaya. Namun,aku merasakan sinyal baik.

“Iya,nih suaranya..” ucapku lalu mendekatkan ponselku pada Agi dan menyuruh Agi bicara sepatah kata,apapun.

“Hai Kak Ines!” seru Agi dengan suara riangnya. Ku dekatkan lagi ponsel pada telinga,

“Oh ya ya itu Agi,tapi pokoknya kamu harus pulang sekarang,udah malem!” ucap kakakku lalu KLIK. Aku kembali memasukkan ponselku ke saku celana. Agi menatapku. Ketahuan deh,namanya Agi. Lelaki yang aku kagumi.

“Lo gak sms Kak Ines kalo kita lagi makan disini?” tanya Agi dengan tatapan menuduh.

“Lupa.” Jawabku singkat. Itu bukan menghindar dari kesalahan ya,aku memang benar-benar lupa.

“Del,del..ckckckckc.” balasnya geleng-geleng kepala. Aku kesal. Aku berdiri dari tempat dudukku.Tak lupa aku mencuci tangan di mangkuk kecil terlebih dahulu,aku sudah kenyang malam ini. Kenyang makan pecel lele,kenyang dengan udara dingin,kenyang dengan ketidak jujurannya,kenyang dengan suara memekikkannya Kak Ines,dan kenyang terhadap semuanya!

“Aku mau pulang.” Ucapku. Tanpa kata,Agi pun ikut berdiri dan kita pun berjalan menuju rumahku.
***
Di perjalanan pulang,kita mengobrol tentang beberapa hal. Dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting. Namun bagiku,itu semua penting. Ucapannya,melangkah bersama,berada di sampingnya,melihatnya dari dekat,semua itu penting dan aku ingin itu terus terulang,aku takkan pernah bosan.

“Lo masih pengen tetep jadi astronot gak?” tanya Agi. Aku menoleh kaget. Ternyata dia masih ingat salah satu keinginanku itu. Keinginan yang sepertinya terdengar sedikit bodoh,atau benar-benar bodoh.

“Masih.Tapi kayaknya gak mungkin deh.” Jawabku.

“Gak mungkin kenapa?” tanya Agi. Ah,Gi,aku malas membahas hal ini malam ini. Aku cukup mendengar semua celotehanmu saja,aku sudah senang,sangat senang.

“Gak tau ah,” jawabku malas.

“Kok lo gitu sih?” tanya Agi.

“Gitu kenapa?Gue males bahas itu,gue gak tau mau jawab apa.” Jawabku.

“Gue juga males kalo Cuma gue doang yang ngomong panjang lebar. Nah lo Cuma jawab iya atau oh doang.” Balas Agi. Ia terlihat kesal. Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu.

“Oke. Mau tau kenapa gak mungkin? Karena,ya..gak mungkin aja. Nilai IPA tentang astronomi gue biasa-biasa aja. Dan,kayaknya emang susah banget buat jadi astronot,lo tau kan NASA,itu kan perusahaan Amerika yang terkenal di seluruh dunia. Cuma orang-orang jenius yang bisa masuk sana,apalagi jadi astronot,lebih dari jenius kali.” Ucapku.

“Mungkin aja.Impossible is nothing.” Balasnya. Aku mengangguk-angguk,seolah setuju.

“Gue pengen liat bumi seutuhnya dengan kedua mata gue..pasti keren ya Gi..” ucapku. Tiba-tiba langkah Agi terhenti lalu ia memelukku,sekilas,lalu ia melepaskannya dan menatapku dengan senyum lebarnya.

“Masuk gih,udah malem.” Ucapnya. Aku menoleh,ternyata aku sudah sampai di depan rumah.

“Oh,udah sampe.” Balasku. Lalu aku ingat sesuatu,sweater Agi,aku melepaskannya dan memakainnya pada Agi. Wajah Agi tampak kaku,lalu seketika tersenyum manis. Aku mendorongnya pergi.

“Dah!” serunya lalu berjalan menjauh dariku.

“Dah..” balasku pelan lalu berjalan masuk ke rumah. Siap-siap mendengar teriakkan Kak Ines.
***
Setelah bel istirahat berbunyi,aku segera keluar dan bergegas menuju kelas Agi. Aku hanya ingin bertemu dengannya dan menge-ceknya apa dia baik-baik saja setelah kemarin malam. Aku merasa ada yang aneh padanya,dan aku tahu ini ada sesuatu. Di depan kelasnya,aku bertemu dengan teman ekskul basketnya,Faiz.

“Eh Adel!” sapa Faiz ramah,aku hanya tersenyum.

“Agi ada gak?” tanyaku langsung.

“Nah itu dia,Del.Gue baru mau nanya sama lo,soalnya tumben banget nih si Agi alfa.” Jawab Faiz.Aku terdiam.Kaget.Banget.

“A-agi alfa?Gak masuk?!” tanyaku. Faiz mengangguk yakin.

“Iya,biasanya kalo gak masuk dia bilang sama gue.Tapi hari ini gak,dia gak ada kabarnya,Del..Lo tau gak dia kemana?” tanya Faiz. Aku menggeleng.

“Kalo gue tau dia dimana,ngapain juga gue nanya dia ke lo,Faiz.” Jawabku.

“Oh,iya ya.” Balas Faiz mengangguk-angguk. Lalu aku pergi,melangkah entah kemana. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah sebuah pertanyaan,yaitu ‘Agi dimana?’. Pertanyaan it terus berputar-putar di kepalaku.Agi dimana?
***
Selama pelajaran terakhir,kosentrasiku buyar,sampai-sampai aku sempat kena teguran Pak Yogi,guru Fisika-ku. Padahal biasanya,aku jarang sekali ditegur oleh guru. Ini semua gara-gara Agi. Kemana dia?Awas saja kalau ketemu.

Jam pulang sekolah,aku langsung berlari keluar sekolah dan pergi menuju rumah Agi dengan taksi,sendirian.

Rumah Agi sangat besar dan mewah. Satpamnya yang sudah mengenalku langsung mengizinkanku masuk. Ia tampak panik. Lalu aku pun tahu semuanya,ia menceritakan semuanya padaku.

“Tadi pagi Bi Inah sudah mencoba membangunkan den Agi,tapi pintu kamarnya di kunci terus.Bi Inah sudah gedor-gedor pintu kamarnya den Agi tapi gak ada jawaban. Lalu saya pun coba cari kunci duplikat,tapi gak ada non.” Tutur satpamnya. Hatiku mulai dag-dig-dug.Agi,apa yang terjadi.

Aku pun sampai di depan pintu kamarnya,aku mengetuk pelan beberapa kali.

“Agi?Ini gue,Adel.Buka pintunya.” Sapaku pelan. Tak ada jawaban. Aku pun mengetuk lagi.

“Gi,buka pintunya..Lo di dalem kan?Gue tau lo denger..buka pintunya Gi..” ucapku lagi. Namun,tak jua ada jawaban darinya. Lalu tiba-tiba terdengar suara kunci terbuka,lalu pintu terbuka dan muncul Agi. Betapa terkejutnya aku,Agi terlihat begitu kacau.

“Agi?!”

“Adel..maafin gue..” ucapnya lalu jatuh mengarah padaku,aku menahannya. Ia pingsan.
***

Aku tidak terlalu suka dengan Rumah Sakit.Hawanya yang dingin,dan bau obatnya yang begitu menyengat.Dan yang paling menyakitkan,aku duduk menunggu di depan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Agi. Tangisku pun pecah. Agi begitu kacau. Ia tampak berbeda,ia bukan Agi yang seperti biasanya. Namun,itu tak penting. Yang penting sekarang Agi tidak akan kenapa-kenapa. Ia akan baik-baik saja,aku harap begitu. Kak Ines memelukku erat. Kak Ines langsung datang begitu aku bilang ada di Rumah Sakit. Ia mencoba menenangkanku,memintaku untuk terus berdoa,dan percaya bahwa Agi pasti akan baik-baik saja.
Aku berdoa pada Tuhan. Aku memohon pada Tuhan,karena aku menyadari bahwa Tuhan yang memegang kendali dibalik semua ini.

Kemudia,muncul seorang dokter dari ruangan itu. Wajahnya menunjukkan sinyal yang tidak baik. Jantungku berdegup kencang.

“Ada hal yang perlu saya bicarakan,kalian keluarganya?” tanya dokter itu. Aku terdiam,entahlah,aku merasa lemas,aku hanya bisa menangis,semuanya sudah kacau untukku.

“Saya,dok.” Jawab Kak Ines kemudian. Ia menatapku.

“Tunggu disini,” ucapnya padaku lalu berlalu dengan sang dokter. Aku terdiam duduk,air mataku terus mengalir. Aku tatap pintu ruangan yang ada di hadapanku. Disanalah Agi berada. Apa dia baik-baik saja?

Kak Ines muncul,wajahnya pucat pasi.Jantungku semakin berdetak lebih cepat.Perasaanku tak enak.Ia duduk disampingku,menatapku,mengusap rambutku pelan..

“Agi,” ucapnya tertahan. Aku menatapnya,memintanya untuk berbicara lagi.

“Dia hampir overdosis. Dia pake drugs,Del..” lanjutnya.

Seperti di dorong dari ujung tebing tertinggi di dunia. Ditertawakan saat telah jatuh mencapai daratan. Tak ada uluran tangan yang akan membantu untuk berdiri lagi. Seperti ada yang menohok tepat ke hati,lebih tajam dari sebuah panah. Seperti ditenggelamkan secara paksa. Seperti asteroid yang saling bertabrakan. Agi…

“Kakak bohong,dokter itu pasti bohong..” sanggahku. Kak Ines menggeleng.

“Agi gak mungkin kayak gitu,Agi gak mungkin pake drugs,Kak!” teriakku kesal. Sekarang,semua sudah terlalu kacau! Semuanya memenuhi kepalaku! Tak adakah yang mengerti?! Cukup memberitahuku semua hal-hal yang buruk!

Aku jatuh dalam pelukan Kak Ines,tangisku semakin pecah. Aku hancur. Aku remuk. Bagaimana bisa sang pemeran utama melakukan itu? Tidak tahukah dia bahwa ini semua akan berakibat fatal.Ia bukan pemeran utama yang di idola-idolakan,ia sudah merusak semuanya. Apakah pemeran utama ini akan masih dibanggakan? Ditunggu sampai ia kembali lagi menjadi pemeran utama yang sempurna dan di idam-idamkan?
***

Tepat pukul 22.00 malam. Aku melakukan satu hal bodoh lagi. Aku menunggunya hingga ia sadar. Dari sore tadi,aku hanya duduk di sampingnya,menunggu ia membuka matanya. Aku ingin semua kembali seperti semula,baik-baik saja,tak ada Rumah Sakit,tak ada tangisan,tak ada drugs,tak ada Agi yang terbaring diatas tempat tidur yang terlihat dingin itu,tak ada wajahnya yang pucat pasi dan tak ada dirinya yang seperti tak bernapas,juga tak ada tembok Rumah Sakit yang begitu dingin saat kusentuh dengan buku-buku jariku.
Agi sadar. Matanya berkedip beberapa kali lalu terbuka. Ia melihat ke samping kanan,atas,depan,lalu ke samping kiri..matanya tegang saat menemukanku.

“Adel..?” tanyanya dengan suara yang kaku dan serak.

“Kamu sadar?” tayaku. Ia mengangguk pelan.

“Kenapa?Kenapa kamu ngelakuin hal bodoh itu?!” tanyaku kesal,dengan nada tinggi,kurasakan itu,menggema di seluruh ruangan ini. Agi menggeleng pelan.

“Del,gue,gue gak bermaksud…” suaranya begitu parau.

“Gak bermaksud apa?Gak bermaksud bohong?!Kenapa sih,Gi?!Kenapa harus pake drugs,hah?!Lo gila?! Kita kan udah pernah bahas ini sebelum masuk SMA! Lo udah janji sama gue gak akan pernah nyentuh yang namanya rokok,alcohol,apalagi obat-obatan itu! Gak apa kalo lo emang pengen nyakitin diri lo sendiri,gak apa kalo lo pengen cepet-cepet pergi dari dunia ini. Tapi gue gak mau!Gue gak mau lo kayak gini! Gue gak mau disini tanpa lo..”  Air mata itu mengalir begitu saja. Kurasa mataku sudah bengkak saat ini. Sudah begitu banyak air mata. Hanya untuk Agi. Dan setela hitu semua,dia bilang dia tidak bermaksud?! Lalu semuanya?!
Agi mengulurkan tangannya,lalu menarik tanganku dan menggenggamnya.

“Maafin gue,Del..” ucapnya pelan,begitu tulus. Aku menatapnya. Setelah semua ini,aku merasa,aku tak mengenalnya. Aku tak begitu mengenalnya. Setelah sering kita bersama,ternyata aku belum mengenalnya cukup baik. Aku hanya seorang figuran. Dia seorang pemeran utama. Aku hanya membantunya,meski mungkin sebenarnya dia tak menyadari kehadiranku.

“Gue gak tau,gue gak ngerti sama lo,lo tega.” Jawabku lalu kulepaskan genggaman tangannya.

“Semuanya tiba-tiba kacau,Del.” Ucapnya. Aku menatapnya lagi,aku tak percaya hingga detik ini pun aku masih sayang padanya.

“Kenapa lo gak pernah cerita sama gue?” tanyaku. Agi menggeleng.

“Gue gak mau lo terus kebawa dalam hidup gue.” Jawab Agi. Aku tak percaya apa yang ia katakana. Jadi,ia tak mau kalau aku terus ada dalam hidupnya?Ia menganggapku sebagai pengganggu?Atau apa?Jadi,sia-sia saja selama ini aku baik padanya?Mungkin ia tak pernah menghargaiku.

“Gue kira kita sahabat.Kenapa gak lo bilang langsung aja sama gue,kalo lo gak mau gue ada di hidup lo lagi?!” tanyaku. Agi terdiam.

“Kenapa gak jawab? Apa selama ini lo pernah nganggep gue?Apa gue Cuma jadi pelengkap doang?Gue udah terlau bodoh untuk peduli sama lo.Mulai sekarang,gue gak mau ketemu lo lagi!Mulai sekarang gue gak akan peduli lagi sama lo!Mau lo tetep nyakitin tubuh lo dengan benda-benda haram itu gue gak peduli!Karena gue bukan siapa-siapa di hidup lo!Dan gue benci sama lo!”  Gue sayang sama lo,gue gak habis pikir kenapa lo bisa kayak gini,gue masih pengen menghabiskan waktu gue sama lo,Gi..
Setelah itu aku pergi,meski sempat Agi menarik tanganku,dan suaranya..yang memohonku untuk tetap bersamanya disana. Suaranya yang lemah dan parau.
***

Mungkin,inilah hidup.Suatu saat,kau akan merasakan yang namanya kebahagian,kau akan diterbangkan ke langit tertinggi. Namun,suatu saat kau akan di jatuhkan dari langit tertinggi itu. Dimana ada bahagia,di situ pasti terselip sedih.

Aku tak bisa mengendalikan diriku,aku terus menangis sepanjang hari sepulang dari Rumah Sakit. Aku tak bisa menahan air mataku,itu terus saja mengalir. Bagai tampilan silver screen,semuanya terputar,kenang-kenanganku dengannya terputar jelas di sana. Di sana,Agi tampak baik-baik saja. Ia tersenyum,tertawa,berdebat denganku,dan bercanda denganku. Aku masih ingat kejadian malam itu. Aku akan merindukan saat-saat seperti itu. Malam itu,ia memelukku,meski hanya sekilas.

Terdengar suara ketukan di pintu kamarku,lalu muncul suara Kak Ines.

“Masuk aja!” seruku,tak kusangka suaraku akan serak seperti itu. Lalu pintu terbuka dan Kak Ines menghampiriku. Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya dan tangisku kembali pecah. Kak Ines mengusap-usap kepalaku lembut.

“Kamu harus kuat. Sekarang Agi butuh banget dorongan dari kamu untuk sembuh,untuk lepas dari obat-obatan itu..” ucap Kak Ines. Aku melepaskan pelukannya dan menggelengkan kepala.

“Aku gak mau kenal dia lagi. Dia jahat,sama diri sendirinya aja jahat,apalagi sama aku..” ucapku diantara isakan tangis yang tak juga berhenti. Kini Agi memenuhi kepalaku,setiap detik. Kak Ines menggenggam tanganku erat lalu menatapku tepat di kedua mataku.

“Orang-orang pasti pernah salah, kita semua.” Ucap Kak Ines. Aku tak bisa membalasnya. Aku terdiam.

“Mama pernah bilang sama kita,setiap orang yang punya kesalahan,punya hak untuk dimaafkan.Mereka punya hak untuk berubah.. Inget gak waktu kita marah banget sama Papa setelah perceraian itu? Setelah perceraian,Papa selalu datang ke rumah,ngelakuin segala hal supaya kita maafin Papa dan agar kita mengerti perasaan Papa dan Mama. Mama bilang sama kita,gimana misalnya kalo kita jadi Papa? Pasti rasanya sedih,sakit,dijauhin sama anak-anaknya sendiri. Dan pasti rasanya serba salah. Mau bagaimana pun,dia tetep Papa kita. Papa yang udah rela meluangkan waktunya untuk merawat kita dari bayi,jasa Papa juga besar buat kita,bukan Cuma Mama. Masih inget gak gimana akhirnya waktu kita maafin Papa?” tanya Kak Ines.

“Karena kita sayang Papa.” Jawabku. Kak Ines tersenyum.

“Semua orang yang salah,berhak untuk dimaafkan. Apalagi orang yang kita sayang. Termasuk Agi. Sekarang dia lagi rapuh,dia lagi butuh dorongan dari orang-orang yang peduli sama dia,yang sayang sama dia..” ucap Kak Ines.

“Itu beda Kak! Banyak orang yang peduli sama dia,tapi dibuang sia-sia sama dia! Aku udah peduli banget sama dia,” ucapku.

“Bayangkan kalau kamu jadi dia sekarang.” Balas Kak Ines. Aku terdiam. Tiba-tiba muncul bayangan Agi yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan wajah pucat. Teringat suara paraunya yang memintaku untuk tetap bersamanya. Aku menunduk dan menangis lebih keras,kenapa aku malah meninggalkannya? Namun,sebagian diriku masih tetap menolaknya. Aku bingung. Aku kacau.

“Kemarin malam setelah kamu pulang,Ibunya datang langsung dari Qatar.” Ucap Kak Ines. Kehidupan keluarga Agi tidak beda jauh dengan kehidupan keluargaku. Orangtuanya pun bercerai. Setelah perceraian Agi berpisah dengan Ayahnya yang memilih untuk menetap di Prancis. Untuk menghidupi kehidupan,Ibunya memenuhi panggilan kerja di Qatar.Sebagai single parent,Ibunya bisa memenuhi kebutuhan Agi tanpa ada yang kurang. Tapi,mereka jadi jarang bertemu. Ibunya jarang sekali pulang ke Indonesia.

“Agi mau ketemu kamu,Del. Sebelum dia di rehab.” Ucap Kak Ines.

“Rehabilitasi?” tanyaku kaget.

“Iya,Agi nyesel banget pake obat-obatan haram itu. Dia juga udah nyesel banget bikin kamu sedih kayak gini. Agi minta maaf,kemarin dia mohon sama kakak untuk sampaikan permohonan maafnya sama kamu,kalau sebelum rehab nanti ternyata dia gak bisa ketemu kamu.” Jawab Kak Ines.

“Aku gak yakin bisa ketemu dia,Kak.Ini semua tuh terlalu rumit,kacau.” Ucapku.

“Setelah rehab,Agi berangkat ke Qatar ikut Ibunya.” Ucap Kak Ines lagi. Aku membisu. Qatar?!

“Aku gak tau Kak,aku bingung!” seruku kesal. Lalu Kak Ines memelukku erat.

“Semua keputusan ada di kamu.Mau ketemu atau gak,itu hak kamu.Tapi,cobalah untuk memaafkan dia.Semua orang pasti punya kesalahan,termasuk kamu. Besok Agi berangkat ke panti rehabilitasi. Kalau kamu mau menemui dia,kamu masih punya waktu dari pagi sampai siang. Dia berangkatnya sore..” ucap Kak Ines lalu melepaskan pelukannya,menatapku dan tersenyum.
***

Aku pun datang,tepat jam dua belas siang. Aku bertemu Ibunya dan meminta izin untuk menemui Agi. Ibunya dengan senang hati mengizinkanku,ia sempat memelukku dan mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mau berusaha menjaga Agi selama ia jauh dari Agi. Tidak,aku tidak berhasil menjaganya. Aku tidak cukup mengenalnya.

Saat aku masuk,Agi sedang berbaring namun tidak tidur. Wajahnya begitu terkejut saat aku datang. Aku mencoba menyunggingkan senyumku,lalu ia membalas senyumku. Senyum yang akan aku rindukan,sangat aku rindukan. Aku mendekatinya,duduk disampingnya. Kami saling menatap cukup lama. Lalu air mataku kembali jatuh,aku menangis lagi. Agi meraih tanganku,menggenggamnya erat.

“Makasih Del,maafin gue..” ucapnya.Suaranya tidak serak seperti kemarin.

“Setelah rehab, lo jadi pindah ke Qatar?” tanyaku tanpa basa-basi. Itu yang mengangguku. Itu yang akan membuatku semakin menginginkannya. Ia akan jauh dariku,beribu-ribu mil dariku.

“Iya,Mama minta ague tinggal sama dia,gue mana bisa nolak.” Jawabnya.

“Emangnya lo mau nolak kalo bisa?” tanyaku. Agi tersenyum lalu semakin menggenggam erat tanganku.

“Gue gak mau ninggalin lo.” Jawabnya. Aku terdiam,apa Agi juga merasakan hal yang sama?

“Gue janji bakal sembuh,Del.Gue nyesel banget pake barang haram itu,gue nyesel udah ngecewain lo..” Pemeran utama memang harus menunjukkan contoh yang baik,jika sekali saja ia berbuat kesalahan,ia akan terjatuh dan terpuruk. Peran utamanya itu bisa saja digantikan dengan orang lain.

Aku masih tak mengerti mengapa Agi bisa-bisanya memakai barang haram itu.Apa ia kurang mendapat perhatian?Aku pikir banyak sekali yang memperhatikannya,ibunya,aku,teman-teman sekolah,Kak Ines,dan masih banyak lagi. Apa masalah pergaulan?Yang kulihat,pergaulannya baik-baik saja. Ia juga bersahabat dengan Agam,menurutku Agam anak yang baik,cerdas,dan ramah. Lalu darimana datangnya pikiran itu sehingga Agi mau memakai barang haram yang dilaknat itu? Darimana? Aku tak berani bertanya padanya.

“Kenapa sih Gi,kenapa lo bisa pake barang haram itu?Lo gak pikir gimana masa depan lo?Bisa aja lo mati waktu itu.” Tanyaku akhirnya. Agi terdiam.

“Gue juga gak tau,” jawabnya. Aku menatap matanya,masih ada lingkaran ungu tua itu,seperti yang kulihat malam itu. Aku menyentuhnya kembali.

“Lo pasti capek banget,” ucapku. Agi menarik jemari tanganku lalu menggenggamnya erat. Jadi,kedua tanganku digenggam olehnya. Aku terpaku bingung.

“Gue kan udah bilang,lo jangan terlalu perhatian sama gue,ntar lo sakit.Dan sekarang gue udah bikin lo sakit,tapi kenapa lo masih perhatian sama gue?” tanyanya,dengan nada yang penuh keseriusan.

Aku menggelengkan kepala.

“Gak tau,gue gak bisa gak perhatian sama lo,meski gue Cuma sahabat lo,gue tetep aja naruh perhatian lebih sama lo.” Jawabku.
***

Sang pemeran utama bangkit kembali,meski ia pernah terjatuh.

Jarang terjadi yang seperti ini.

Ia tetap digemari,ia tetap bersinar seperti bintang.

Namun,sang figuran tetap menjadi figuran. Tapi,ia rela terus menjadi figuran…bagaimanapun,itulah satu-satunya cara agar ia tetap dekat dengan sang pemeran utama. Agar ia tetap berada di samping sang pemeran utama,meski hanya dirinya yang merasa bahagia. Meski hanya ia yang merasa bahwa momen itu sangat special dan berharga.Meski hanya ia.

Hampir 4 tahun berlalu setelah Agi menghilang dari hadapanku. Meski sebenarnya aku tahu ia pergi kemana,tapi aku tetap menyebut bahwa ia hilang. Aku tak dapat melihat senyumnya lagi. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaannya. Aku ingin melihatnya.

Dan perasaan ini masih tetap ada. Entah bagaimana bisa aku tetap menyimpannya.

Saat kelulusan SMA,terasa begitu sepi tanpanya. Padahal dulu,aku membayangkan bagaimana tawa bahagianya saat kelulusan. Tersenyum senang bersamanya saat menerima kelulusan. Tapi kenyataannya,saat itu ia tak ada disampingku. Terasa datar,biasa saja. Entah jauh disana ia menerima kelulusan juga atau tidak. Apa ia masih melanjutkan sekolahnya saat di rehab?

Hujan hari ini tidak bersahabat.Ditimpali dengan angin kencang.Hari itu aku pulang dari wawancara kerja di sebuah perusahaan majalah,aku mengajukan diri sebagai editor.Semoga saja aku diterima.

Hingga detik ini,Agi tak ada lagi kabarnya. Apa di Qatar dia sudah kerja juga?Mungkin saja ia bekerja dengan Ibunya di bidang yang sama.

“Ojek payung mbak?” suara itu mengejutkanku. Seorang laki-laki dengan topi hitam berdiri di depanku,ia begitu tinggi. Wajahnya tidak terlalu jelas,ia menunduk dan terhalang oleh payung.

“Gak,mas.Makasih.” jawabku. Lalu ia melepas topinya dan tersenyum padaku. Se-senyum itu…? Aku terpaku. Senyum yang paling kurindukan,senyum yang tak terlupakan,senyum yang…membuatku jatuh cinta.

“I miss you.” Ucapnya. Aku masih terpaku.

“A-agi..?” tanyaku bingung,masih tak percaya bahwa dia kini berada di hadapanku. Ia tampak lebih tampan,dengan cardigan biru tuanya,warna favoritnya. Ia masih terus tersenyum padaku. Aku masih bingung,rasanya aku ingin berteriak namun tertahan di tenggorokan. Ia menaruh kedua tangannya di bahuku,menatapku tepat di kedua mataku.

“Ini aku,Adel.” Ucapnya dengan menyebut dirinya ‘aku’,bukan ‘gue’ lagi. Hal apalagi yang berubah dari dirinya. Aku masih tetap terdiam.

“Adel!Kamu masih gak percaya ini aku?” seru Agi. Aku tetap terdiam,aku syok.

 Lalu ia memelukku,erat. Dapat kucium harum parfumnya,sama seperti dulu. Kedua lenganku yang awalnya kaku,perlahan memeluk dirinya. Ini Agi yang kurindukan. Agi yang telah kuanggap hilang,Agi yang dulu aku sukai. Sang pemeran utama.

“Aku kangen kamu,Del.Setiap hari aku mikirin kamu,aku jujur,kamu harus percaya itu,” Iya Agi,aku percaya,karena aku juga seperti itu.

Ia terus memelukku erat,membiarkan hujan membasahi tubuhnya dan tubuhku sedikit,karena ku terlindung oleh kanopi halte.

“Aku udah sembuh sekarang,aku udah sehat lagi!Kamu harus percaya itu,” Aku percaya Agi.

“Aku sayang sama kamu.Kamu harus percaya itu,” Aku perca…apa?!

Aku menarik diriku dari pelukannya,ia tampak kaget.

“Kenapa,Del?” tanya Agi.

“Kamu,k-kamu sayang sama aku?!” tanyaku kaget. Agi tersenyum dan mengangguk.

“Kamu juga kan?” tanya Agi dengan senyum cerianya. Aku diam,malu.

“Aku tau kok,dari dulu malah.Eits,jangan pikir aku sayang sama kamunya baru sekarang aja.Dari dulu juga aku sayang sama kamu,Adel..” ucapnya.
***

 Xoxo,
Aza^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 16 Juli 2011

Aku Percaya

Terkadang,jujur itu sulit.

Betapa hebatnya aku memendam semua perasaan ini dalam waktu yang lama.Menguncinya rapat-rapat.Mengasingkannya jauh di dalam hatiku.Bersikap seolah semuanya biasa-biasa saja,padahal hatiku tidak biasa-biasa saja.Menangis,menatapnya dari jauh,tersenyum meski ia tak melihatku,memberi perhatian lebih,…hal bodoh apa lagi yang dapat aku lakukan untuknya?Dan kenyataannya,semua itu sia-sia.Aku dekat dengannya,tapi itu terasa jauh.

Kurasa,ia pun tak pernah menyadari kehadiranku di sekitarnya.Aku hanya seorang peran pembantu atau figuran.Dan dia adalah pemeran utamanya.Yang paling dibangga-banggakan,diagung-agungkan,dan lebih diperhatikan.Kalo figuran sakit,ganti,cari figuran yang lain.Tapi,kalo pemeran utama sakit,repotnya minta ampun,mau dibawa kemana jalan cerita?Bisa kacau.

Ddddrrrtttt…suara ponsel sendiri mengagetkanku.Aku segera mengangkatnya.

“Halo?” sapaku datar.Terdengar suara klakson mobil,suara ribut motor,dan suara lainnya yang mewakilkan kondisi jalan raya.

“Del,lo sibuk?” suara itu.Suara yang sangat ku kenal,ku jauhkan ponsel dari telinga,melihat layar ponsel sekilas dan kutemukan namanya,sang pemeran utama.

“Ah?Gak.Kenapa?” tanyaku balik.

“Syukurlah.Gue udah di depan rumah lo,” jawabnya.

“Hah?Trus?” tanyaku tak mengerti. Dia berdecak.

“Temenin gue.Bentar aja,buruan turun.” Jawabnya,sedikit memaksa. Klik.Aku mematikan ponselku lalu segera keluar dari kamar dan turun ke bawah.

Saat aku membuka gerbang depan rumah,kutemukan sang pemeran utama dengan sweater biru tuanya dan wajah yang kusam.Ada lingkaran ungu tua dibawah kedua matanya.Ada masalah apa lagi dengannya?Hingga ia rela tak tidur semalaman,entah sudah berapa malam.Matanya agak memerah,rambutnya pun sedikit berantakan.Apa yang terjadi padanya?Setelah kemarin-kemarin tak ada kabar.

Ia menyambutku dengan senyuman kecil dengan lesung pipi yang kecil juga.Ia langsung menarik tanganku.Aku menahannya.

“Kenapa?” tanyanya. Aku menatap diriku dari bawah sampai atas. Sendal jepit,celana training,dan kaos.

“Lo gak pake jaket?” tanyanya. Aku menggeleng.

“Tadi lo kan nyuruh gue buruan,”  jawabku.

“Gue ambil dulu di atas.” Ucapku lalu hendak beranjak darinya sebelum ia menarikku kembali.

“Gak usah,lo pake yang gue aja.Lama lagi nunggu lo ke atas.” Ucapnya sambil membuka sweaternya lalu memberikannya padaku. Aku kebingungan,dengan satu tatapannya,aku pun segera memakai sweaternya.Tercium harum parfumnya.

“Ayo.” Ajaknya kembali menarik tanganku dan berjalan,aku menahannya kembali.

“Kenapa lagi?” tanyanya.

“Kita mau kemana sih?” tanyaku.

“Makan.Lo harus nemenin gue.” Jawabnya.

“Emangnya di rumah lo gak ada makanan?” tanyaku.

“Ada,tapi gak seru kalo gue makan sendiri.Lo harus temenin gue pokoknya.” Jawabnya.

“Tapi,gue belum ijin sama orang rumah gue.” Ucapku. Dia kembali berdecak.

“Ah,ntar aja,sms!” balasnya lalu menarik tanganku dan berlari. Dengan terpaksa aku mengikutinya berlari,meski kadang langkahku berantakan,ia cepat sekali larinya.

“Pelan-pelan!” teriakku. Ia malah tertawa lalu berbalik dan berkata.

“Buruan sebelum malem banget!” jawabnya.
***
Akhirnya kami duduk makan di pinggir jalan,kaki lima.Selain murah,makan disini lebih enak.Suasananya lebih sederhana dan simple.Malam itu kita makan pecel lele,makanan favorit kami berdua,untung saja ia mentraktirku,kebetulan aku tidak bawa dompet.

“Enak?” tanyanya.Aku mengangguk senang.

“Yaiyalah,kan gratis.” Sindirnya.

“Dasar.Kalo traktir tuh yang ikhlas!” balasku. Ia hanya tertawa.

Seketika pandangannya menerawang. Entah apa yang sedang ia pikirkan,tampaknya begitu berat baginya.Ia terbatuk-batuk. Dengan segala keberanianku,aku menyentuh lingkaran ungu di bawah salah satu bola matanya,ia tampak terkejut namun membiarkanku.

“Lo kenapa?” tanyaku lalu kusingkirkan jemari tanganku. Ia tertawa kecil dan menggeleng.

“Jangan pikir gue gak tahu.Lo kan gak suka begadang!Mata lo,Cuma mata lo yang bisa jujur.” Ucapku kesal. Dia pun terdiam. Membuang muka dariku.

“It’s ok.Gak apa kalo lo gak mau cerita,mungkin gak penting buat gue.” Ucapku lalu meminum kembali es jerukku,dinginnya naik ke kepalaku dan membuatku pusing. Lalu kurasakan telapak tangannya menepuk-nepuk kepalaku pelan. Aku menatapnya,ia menatapku,lalu ia tersenyum,dan aku pun tersenyum.Begitu cepat ia dapat membuatku tersenyum kembali,hanya dengan tatapan.Dia sulit untuk dimengerti.

“Lo perhatian banget sih sama gue,jangan terlalu perhatian,ntar lo sakit.” Ucapnya. Aku terdiam,darahku mengejang..sakit?Apa maksud ucapannya?Aku tak mengerti. Lalu ia berhenti menepuk kepalaku,terkekeh dan kembali memakan pecel lelenya. Angin malam berkeliaran di sekitar makin. Mungkin akan terasa dingin sekali jika aku tak pakai sweater miliknya. Terdengar suara kendaraan lalu lalang di jalanan,depan kami. Lampu-lampu kendaraan bermain indah di dalam gelapnya malam.

Terdengar suara Asher Book yang menghipnotis,dari ponselku. Telpon dari rumah,matilah aku.

“Halo?” sapaku pelan. Diujung sana,sudah ada suara kakak perempuanku meledak-ledak.

“Kamu dimana?!Malam-malam gini keluyuran!Sama siapa hah?!PULANG!!” Ku jauhkan ponsel dari telinga untuk beberapa saat,demi keselamatan telinga kanannku.

“Aku lagi makan di depan,sama Agi kok,bentar lagi aku pulang.” Jawabku. Mudah-mudahan saja kakakku tidak terlalu marah saat tahu aku pergi dengan Agi,mereka cukup akrab.

“Bener sama Agi?!” tanya kakakku tidak percaya. Namun,aku merasakan sinyal baik.

“Iya,nih suaranya..” ucapku lalu mendekatkan ponselku pada Agi dan menyuruh Agi bicara sepatah kata,apapun.

“Hai Kak Ines!” seru Agi dengan suara riangnya. Ku dekatkan lagi ponsel pada telinga,

“Oh ya ya itu Agi,tapi pokoknya kamu harus pulang sekarang,udah malem!” ucap kakakku lalu KLIK. Aku kembali memasukkan ponselku ke saku celana. Agi menatapku. Ketahuan deh,namanya Agi. Lelaki yang aku kagumi.

“Lo gak sms Kak Ines kalo kita lagi makan disini?” tanya Agi dengan tatapan menuduh.

“Lupa.” Jawabku singkat. Itu bukan menghindar dari kesalahan ya,aku memang benar-benar lupa.

“Del,del..ckckckckc.” balasnya geleng-geleng kepala. Aku kesal. Aku berdiri dari tempat dudukku.Tak lupa aku mencuci tangan di mangkuk kecil terlebih dahulu,aku sudah kenyang malam ini. Kenyang makan pecel lele,kenyang dengan udara dingin,kenyang dengan ketidak jujurannya,kenyang dengan suara memekikkannya Kak Ines,dan kenyang terhadap semuanya!

“Aku mau pulang.” Ucapku. Tanpa kata,Agi pun ikut berdiri dan kita pun berjalan menuju rumahku.
***
Di perjalanan pulang,kita mengobrol tentang beberapa hal. Dari hal yang penting sampai hal yang tidak penting. Namun bagiku,itu semua penting. Ucapannya,melangkah bersama,berada di sampingnya,melihatnya dari dekat,semua itu penting dan aku ingin itu terus terulang,aku takkan pernah bosan.

“Lo masih pengen tetep jadi astronot gak?” tanya Agi. Aku menoleh kaget. Ternyata dia masih ingat salah satu keinginanku itu. Keinginan yang sepertinya terdengar sedikit bodoh,atau benar-benar bodoh.

“Masih.Tapi kayaknya gak mungkin deh.” Jawabku.

“Gak mungkin kenapa?” tanya Agi. Ah,Gi,aku malas membahas hal ini malam ini. Aku cukup mendengar semua celotehanmu saja,aku sudah senang,sangat senang.

“Gak tau ah,” jawabku malas.

“Kok lo gitu sih?” tanya Agi.

“Gitu kenapa?Gue males bahas itu,gue gak tau mau jawab apa.” Jawabku.

“Gue juga males kalo Cuma gue doang yang ngomong panjang lebar. Nah lo Cuma jawab iya atau oh doang.” Balas Agi. Ia terlihat kesal. Aku tertawa kecil melihatnya seperti itu.

“Oke. Mau tau kenapa gak mungkin? Karena,ya..gak mungkin aja. Nilai IPA tentang astronomi gue biasa-biasa aja. Dan,kayaknya emang susah banget buat jadi astronot,lo tau kan NASA,itu kan perusahaan Amerika yang terkenal di seluruh dunia. Cuma orang-orang jenius yang bisa masuk sana,apalagi jadi astronot,lebih dari jenius kali.” Ucapku.

“Mungkin aja.Impossible is nothing.” Balasnya. Aku mengangguk-angguk,seolah setuju.

“Gue pengen liat bumi seutuhnya dengan kedua mata gue..pasti keren ya Gi..” ucapku. Tiba-tiba langkah Agi terhenti lalu ia memelukku,sekilas,lalu ia melepaskannya dan menatapku dengan senyum lebarnya.

“Masuk gih,udah malem.” Ucapnya. Aku menoleh,ternyata aku sudah sampai di depan rumah.

“Oh,udah sampe.” Balasku. Lalu aku ingat sesuatu,sweater Agi,aku melepaskannya dan memakainnya pada Agi. Wajah Agi tampak kaku,lalu seketika tersenyum manis. Aku mendorongnya pergi.

“Dah!” serunya lalu berjalan menjauh dariku.

“Dah..” balasku pelan lalu berjalan masuk ke rumah. Siap-siap mendengar teriakkan Kak Ines.
***
Setelah bel istirahat berbunyi,aku segera keluar dan bergegas menuju kelas Agi. Aku hanya ingin bertemu dengannya dan menge-ceknya apa dia baik-baik saja setelah kemarin malam. Aku merasa ada yang aneh padanya,dan aku tahu ini ada sesuatu. Di depan kelasnya,aku bertemu dengan teman ekskul basketnya,Faiz.

“Eh Adel!” sapa Faiz ramah,aku hanya tersenyum.

“Agi ada gak?” tanyaku langsung.

“Nah itu dia,Del.Gue baru mau nanya sama lo,soalnya tumben banget nih si Agi alfa.” Jawab Faiz.Aku terdiam.Kaget.Banget.

“A-agi alfa?Gak masuk?!” tanyaku. Faiz mengangguk yakin.

“Iya,biasanya kalo gak masuk dia bilang sama gue.Tapi hari ini gak,dia gak ada kabarnya,Del..Lo tau gak dia kemana?” tanya Faiz. Aku menggeleng.

“Kalo gue tau dia dimana,ngapain juga gue nanya dia ke lo,Faiz.” Jawabku.

“Oh,iya ya.” Balas Faiz mengangguk-angguk. Lalu aku pergi,melangkah entah kemana. Yang ada di pikiranku sekarang hanyalah sebuah pertanyaan,yaitu ‘Agi dimana?’. Pertanyaan it terus berputar-putar di kepalaku.Agi dimana?
***
Selama pelajaran terakhir,kosentrasiku buyar,sampai-sampai aku sempat kena teguran Pak Yogi,guru Fisika-ku. Padahal biasanya,aku jarang sekali ditegur oleh guru. Ini semua gara-gara Agi. Kemana dia?Awas saja kalau ketemu.

Jam pulang sekolah,aku langsung berlari keluar sekolah dan pergi menuju rumah Agi dengan taksi,sendirian.

Rumah Agi sangat besar dan mewah. Satpamnya yang sudah mengenalku langsung mengizinkanku masuk. Ia tampak panik. Lalu aku pun tahu semuanya,ia menceritakan semuanya padaku.

“Tadi pagi Bi Inah sudah mencoba membangunkan den Agi,tapi pintu kamarnya di kunci terus.Bi Inah sudah gedor-gedor pintu kamarnya den Agi tapi gak ada jawaban. Lalu saya pun coba cari kunci duplikat,tapi gak ada non.” Tutur satpamnya. Hatiku mulai dag-dig-dug.Agi,apa yang terjadi.

Aku pun sampai di depan pintu kamarnya,aku mengetuk pelan beberapa kali.

“Agi?Ini gue,Adel.Buka pintunya.” Sapaku pelan. Tak ada jawaban. Aku pun mengetuk lagi.

“Gi,buka pintunya..Lo di dalem kan?Gue tau lo denger..buka pintunya Gi..” ucapku lagi. Namun,tak jua ada jawaban darinya. Lalu tiba-tiba terdengar suara kunci terbuka,lalu pintu terbuka dan muncul Agi. Betapa terkejutnya aku,Agi terlihat begitu kacau.

“Agi?!”

“Adel..maafin gue..” ucapnya lalu jatuh mengarah padaku,aku menahannya. Ia pingsan.
***

Aku tidak terlalu suka dengan Rumah Sakit.Hawanya yang dingin,dan bau obatnya yang begitu menyengat.Dan yang paling menyakitkan,aku duduk menunggu di depan sebuah ruangan yang di dalamnya ada Agi. Tangisku pun pecah. Agi begitu kacau. Ia tampak berbeda,ia bukan Agi yang seperti biasanya. Namun,itu tak penting. Yang penting sekarang Agi tidak akan kenapa-kenapa. Ia akan baik-baik saja,aku harap begitu. Kak Ines memelukku erat. Kak Ines langsung datang begitu aku bilang ada di Rumah Sakit. Ia mencoba menenangkanku,memintaku untuk terus berdoa,dan percaya bahwa Agi pasti akan baik-baik saja.
Aku berdoa pada Tuhan. Aku memohon pada Tuhan,karena aku menyadari bahwa Tuhan yang memegang kendali dibalik semua ini.

Kemudia,muncul seorang dokter dari ruangan itu. Wajahnya menunjukkan sinyal yang tidak baik. Jantungku berdegup kencang.

“Ada hal yang perlu saya bicarakan,kalian keluarganya?” tanya dokter itu. Aku terdiam,entahlah,aku merasa lemas,aku hanya bisa menangis,semuanya sudah kacau untukku.

“Saya,dok.” Jawab Kak Ines kemudian. Ia menatapku.

“Tunggu disini,” ucapnya padaku lalu berlalu dengan sang dokter. Aku terdiam duduk,air mataku terus mengalir. Aku tatap pintu ruangan yang ada di hadapanku. Disanalah Agi berada. Apa dia baik-baik saja?

Kak Ines muncul,wajahnya pucat pasi.Jantungku semakin berdetak lebih cepat.Perasaanku tak enak.Ia duduk disampingku,menatapku,mengusap rambutku pelan..

“Agi,” ucapnya tertahan. Aku menatapnya,memintanya untuk berbicara lagi.

“Dia hampir overdosis. Dia pake drugs,Del..” lanjutnya.

Seperti di dorong dari ujung tebing tertinggi di dunia. Ditertawakan saat telah jatuh mencapai daratan. Tak ada uluran tangan yang akan membantu untuk berdiri lagi. Seperti ada yang menohok tepat ke hati,lebih tajam dari sebuah panah. Seperti ditenggelamkan secara paksa. Seperti asteroid yang saling bertabrakan. Agi…

“Kakak bohong,dokter itu pasti bohong..” sanggahku. Kak Ines menggeleng.

“Agi gak mungkin kayak gitu,Agi gak mungkin pake drugs,Kak!” teriakku kesal. Sekarang,semua sudah terlalu kacau! Semuanya memenuhi kepalaku! Tak adakah yang mengerti?! Cukup memberitahuku semua hal-hal yang buruk!

Aku jatuh dalam pelukan Kak Ines,tangisku semakin pecah. Aku hancur. Aku remuk. Bagaimana bisa sang pemeran utama melakukan itu? Tidak tahukah dia bahwa ini semua akan berakibat fatal.Ia bukan pemeran utama yang di idola-idolakan,ia sudah merusak semuanya. Apakah pemeran utama ini akan masih dibanggakan? Ditunggu sampai ia kembali lagi menjadi pemeran utama yang sempurna dan di idam-idamkan?
***

Tepat pukul 22.00 malam. Aku melakukan satu hal bodoh lagi. Aku menunggunya hingga ia sadar. Dari sore tadi,aku hanya duduk di sampingnya,menunggu ia membuka matanya. Aku ingin semua kembali seperti semula,baik-baik saja,tak ada Rumah Sakit,tak ada tangisan,tak ada drugs,tak ada Agi yang terbaring diatas tempat tidur yang terlihat dingin itu,tak ada wajahnya yang pucat pasi dan tak ada dirinya yang seperti tak bernapas,juga tak ada tembok Rumah Sakit yang begitu dingin saat kusentuh dengan buku-buku jariku.
Agi sadar. Matanya berkedip beberapa kali lalu terbuka. Ia melihat ke samping kanan,atas,depan,lalu ke samping kiri..matanya tegang saat menemukanku.

“Adel..?” tanyanya dengan suara yang kaku dan serak.

“Kamu sadar?” tayaku. Ia mengangguk pelan.

“Kenapa?Kenapa kamu ngelakuin hal bodoh itu?!” tanyaku kesal,dengan nada tinggi,kurasakan itu,menggema di seluruh ruangan ini. Agi menggeleng pelan.

“Del,gue,gue gak bermaksud…” suaranya begitu parau.

“Gak bermaksud apa?Gak bermaksud bohong?!Kenapa sih,Gi?!Kenapa harus pake drugs,hah?!Lo gila?! Kita kan udah pernah bahas ini sebelum masuk SMA! Lo udah janji sama gue gak akan pernah nyentuh yang namanya rokok,alcohol,apalagi obat-obatan itu! Gak apa kalo lo emang pengen nyakitin diri lo sendiri,gak apa kalo lo pengen cepet-cepet pergi dari dunia ini. Tapi gue gak mau!Gue gak mau lo kayak gini! Gue gak mau disini tanpa lo..”  Air mata itu mengalir begitu saja. Kurasa mataku sudah bengkak saat ini. Sudah begitu banyak air mata. Hanya untuk Agi. Dan setela hitu semua,dia bilang dia tidak bermaksud?! Lalu semuanya?!
Agi mengulurkan tangannya,lalu menarik tanganku dan menggenggamnya.

“Maafin gue,Del..” ucapnya pelan,begitu tulus. Aku menatapnya. Setelah semua ini,aku merasa,aku tak mengenalnya. Aku tak begitu mengenalnya. Setelah sering kita bersama,ternyata aku belum mengenalnya cukup baik. Aku hanya seorang figuran. Dia seorang pemeran utama. Aku hanya membantunya,meski mungkin sebenarnya dia tak menyadari kehadiranku.

“Gue gak tau,gue gak ngerti sama lo,lo tega.” Jawabku lalu kulepaskan genggaman tangannya.

“Semuanya tiba-tiba kacau,Del.” Ucapnya. Aku menatapnya lagi,aku tak percaya hingga detik ini pun aku masih sayang padanya.

“Kenapa lo gak pernah cerita sama gue?” tanyaku. Agi menggeleng.

“Gue gak mau lo terus kebawa dalam hidup gue.” Jawab Agi. Aku tak percaya apa yang ia katakana. Jadi,ia tak mau kalau aku terus ada dalam hidupnya?Ia menganggapku sebagai pengganggu?Atau apa?Jadi,sia-sia saja selama ini aku baik padanya?Mungkin ia tak pernah menghargaiku.

“Gue kira kita sahabat.Kenapa gak lo bilang langsung aja sama gue,kalo lo gak mau gue ada di hidup lo lagi?!” tanyaku. Agi terdiam.

“Kenapa gak jawab? Apa selama ini lo pernah nganggep gue?Apa gue Cuma jadi pelengkap doang?Gue udah terlau bodoh untuk peduli sama lo.Mulai sekarang,gue gak mau ketemu lo lagi!Mulai sekarang gue gak akan peduli lagi sama lo!Mau lo tetep nyakitin tubuh lo dengan benda-benda haram itu gue gak peduli!Karena gue bukan siapa-siapa di hidup lo!Dan gue benci sama lo!”  Gue sayang sama lo,gue gak habis pikir kenapa lo bisa kayak gini,gue masih pengen menghabiskan waktu gue sama lo,Gi..
Setelah itu aku pergi,meski sempat Agi menarik tanganku,dan suaranya..yang memohonku untuk tetap bersamanya disana. Suaranya yang lemah dan parau.
***

Mungkin,inilah hidup.Suatu saat,kau akan merasakan yang namanya kebahagian,kau akan diterbangkan ke langit tertinggi. Namun,suatu saat kau akan di jatuhkan dari langit tertinggi itu. Dimana ada bahagia,di situ pasti terselip sedih.

Aku tak bisa mengendalikan diriku,aku terus menangis sepanjang hari sepulang dari Rumah Sakit. Aku tak bisa menahan air mataku,itu terus saja mengalir. Bagai tampilan silver screen,semuanya terputar,kenang-kenanganku dengannya terputar jelas di sana. Di sana,Agi tampak baik-baik saja. Ia tersenyum,tertawa,berdebat denganku,dan bercanda denganku. Aku masih ingat kejadian malam itu. Aku akan merindukan saat-saat seperti itu. Malam itu,ia memelukku,meski hanya sekilas.

Terdengar suara ketukan di pintu kamarku,lalu muncul suara Kak Ines.

“Masuk aja!” seruku,tak kusangka suaraku akan serak seperti itu. Lalu pintu terbuka dan Kak Ines menghampiriku. Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya dan tangisku kembali pecah. Kak Ines mengusap-usap kepalaku lembut.

“Kamu harus kuat. Sekarang Agi butuh banget dorongan dari kamu untuk sembuh,untuk lepas dari obat-obatan itu..” ucap Kak Ines. Aku melepaskan pelukannya dan menggelengkan kepala.

“Aku gak mau kenal dia lagi. Dia jahat,sama diri sendirinya aja jahat,apalagi sama aku..” ucapku diantara isakan tangis yang tak juga berhenti. Kini Agi memenuhi kepalaku,setiap detik. Kak Ines menggenggam tanganku erat lalu menatapku tepat di kedua mataku.

“Orang-orang pasti pernah salah, kita semua.” Ucap Kak Ines. Aku tak bisa membalasnya. Aku terdiam.

“Mama pernah bilang sama kita,setiap orang yang punya kesalahan,punya hak untuk dimaafkan.Mereka punya hak untuk berubah.. Inget gak waktu kita marah banget sama Papa setelah perceraian itu? Setelah perceraian,Papa selalu datang ke rumah,ngelakuin segala hal supaya kita maafin Papa dan agar kita mengerti perasaan Papa dan Mama. Mama bilang sama kita,gimana misalnya kalo kita jadi Papa? Pasti rasanya sedih,sakit,dijauhin sama anak-anaknya sendiri. Dan pasti rasanya serba salah. Mau bagaimana pun,dia tetep Papa kita. Papa yang udah rela meluangkan waktunya untuk merawat kita dari bayi,jasa Papa juga besar buat kita,bukan Cuma Mama. Masih inget gak gimana akhirnya waktu kita maafin Papa?” tanya Kak Ines.

“Karena kita sayang Papa.” Jawabku. Kak Ines tersenyum.

“Semua orang yang salah,berhak untuk dimaafkan. Apalagi orang yang kita sayang. Termasuk Agi. Sekarang dia lagi rapuh,dia lagi butuh dorongan dari orang-orang yang peduli sama dia,yang sayang sama dia..” ucap Kak Ines.

“Itu beda Kak! Banyak orang yang peduli sama dia,tapi dibuang sia-sia sama dia! Aku udah peduli banget sama dia,” ucapku.

“Bayangkan kalau kamu jadi dia sekarang.” Balas Kak Ines. Aku terdiam. Tiba-tiba muncul bayangan Agi yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan wajah pucat. Teringat suara paraunya yang memintaku untuk tetap bersamanya. Aku menunduk dan menangis lebih keras,kenapa aku malah meninggalkannya? Namun,sebagian diriku masih tetap menolaknya. Aku bingung. Aku kacau.

“Kemarin malam setelah kamu pulang,Ibunya datang langsung dari Qatar.” Ucap Kak Ines. Kehidupan keluarga Agi tidak beda jauh dengan kehidupan keluargaku. Orangtuanya pun bercerai. Setelah perceraian Agi berpisah dengan Ayahnya yang memilih untuk menetap di Prancis. Untuk menghidupi kehidupan,Ibunya memenuhi panggilan kerja di Qatar.Sebagai single parent,Ibunya bisa memenuhi kebutuhan Agi tanpa ada yang kurang. Tapi,mereka jadi jarang bertemu. Ibunya jarang sekali pulang ke Indonesia.

“Agi mau ketemu kamu,Del. Sebelum dia di rehab.” Ucap Kak Ines.

“Rehabilitasi?” tanyaku kaget.

“Iya,Agi nyesel banget pake obat-obatan haram itu. Dia juga udah nyesel banget bikin kamu sedih kayak gini. Agi minta maaf,kemarin dia mohon sama kakak untuk sampaikan permohonan maafnya sama kamu,kalau sebelum rehab nanti ternyata dia gak bisa ketemu kamu.” Jawab Kak Ines.

“Aku gak yakin bisa ketemu dia,Kak.Ini semua tuh terlalu rumit,kacau.” Ucapku.

“Setelah rehab,Agi berangkat ke Qatar ikut Ibunya.” Ucap Kak Ines lagi. Aku membisu. Qatar?!

“Aku gak tau Kak,aku bingung!” seruku kesal. Lalu Kak Ines memelukku erat.

“Semua keputusan ada di kamu.Mau ketemu atau gak,itu hak kamu.Tapi,cobalah untuk memaafkan dia.Semua orang pasti punya kesalahan,termasuk kamu. Besok Agi berangkat ke panti rehabilitasi. Kalau kamu mau menemui dia,kamu masih punya waktu dari pagi sampai siang. Dia berangkatnya sore..” ucap Kak Ines lalu melepaskan pelukannya,menatapku dan tersenyum.
***

Aku pun datang,tepat jam dua belas siang. Aku bertemu Ibunya dan meminta izin untuk menemui Agi. Ibunya dengan senang hati mengizinkanku,ia sempat memelukku dan mengucapkan banyak terima kasih karena sudah mau berusaha menjaga Agi selama ia jauh dari Agi. Tidak,aku tidak berhasil menjaganya. Aku tidak cukup mengenalnya.

Saat aku masuk,Agi sedang berbaring namun tidak tidur. Wajahnya begitu terkejut saat aku datang. Aku mencoba menyunggingkan senyumku,lalu ia membalas senyumku. Senyum yang akan aku rindukan,sangat aku rindukan. Aku mendekatinya,duduk disampingnya. Kami saling menatap cukup lama. Lalu air mataku kembali jatuh,aku menangis lagi. Agi meraih tanganku,menggenggamnya erat.

“Makasih Del,maafin gue..” ucapnya.Suaranya tidak serak seperti kemarin.

“Setelah rehab, lo jadi pindah ke Qatar?” tanyaku tanpa basa-basi. Itu yang mengangguku. Itu yang akan membuatku semakin menginginkannya. Ia akan jauh dariku,beribu-ribu mil dariku.

“Iya,Mama minta ague tinggal sama dia,gue mana bisa nolak.” Jawabnya.

“Emangnya lo mau nolak kalo bisa?” tanyaku. Agi tersenyum lalu semakin menggenggam erat tanganku.

“Gue gak mau ninggalin lo.” Jawabnya. Aku terdiam,apa Agi juga merasakan hal yang sama?

“Gue janji bakal sembuh,Del.Gue nyesel banget pake barang haram itu,gue nyesel udah ngecewain lo..” Pemeran utama memang harus menunjukkan contoh yang baik,jika sekali saja ia berbuat kesalahan,ia akan terjatuh dan terpuruk. Peran utamanya itu bisa saja digantikan dengan orang lain.

Aku masih tak mengerti mengapa Agi bisa-bisanya memakai barang haram itu.Apa ia kurang mendapat perhatian?Aku pikir banyak sekali yang memperhatikannya,ibunya,aku,teman-teman sekolah,Kak Ines,dan masih banyak lagi. Apa masalah pergaulan?Yang kulihat,pergaulannya baik-baik saja. Ia juga bersahabat dengan Agam,menurutku Agam anak yang baik,cerdas,dan ramah. Lalu darimana datangnya pikiran itu sehingga Agi mau memakai barang haram yang dilaknat itu? Darimana? Aku tak berani bertanya padanya.

“Kenapa sih Gi,kenapa lo bisa pake barang haram itu?Lo gak pikir gimana masa depan lo?Bisa aja lo mati waktu itu.” Tanyaku akhirnya. Agi terdiam.

“Gue juga gak tau,” jawabnya. Aku menatap matanya,masih ada lingkaran ungu tua itu,seperti yang kulihat malam itu. Aku menyentuhnya kembali.

“Lo pasti capek banget,” ucapku. Agi menarik jemari tanganku lalu menggenggamnya erat. Jadi,kedua tanganku digenggam olehnya. Aku terpaku bingung.

“Gue kan udah bilang,lo jangan terlalu perhatian sama gue,ntar lo sakit.Dan sekarang gue udah bikin lo sakit,tapi kenapa lo masih perhatian sama gue?” tanyanya,dengan nada yang penuh keseriusan.

Aku menggelengkan kepala.

“Gak tau,gue gak bisa gak perhatian sama lo,meski gue Cuma sahabat lo,gue tetep aja naruh perhatian lebih sama lo.” Jawabku.
***

Sang pemeran utama bangkit kembali,meski ia pernah terjatuh.

Jarang terjadi yang seperti ini.

Ia tetap digemari,ia tetap bersinar seperti bintang.

Namun,sang figuran tetap menjadi figuran. Tapi,ia rela terus menjadi figuran…bagaimanapun,itulah satu-satunya cara agar ia tetap dekat dengan sang pemeran utama. Agar ia tetap berada di samping sang pemeran utama,meski hanya dirinya yang merasa bahagia. Meski hanya ia yang merasa bahwa momen itu sangat special dan berharga.Meski hanya ia.

Hampir 4 tahun berlalu setelah Agi menghilang dari hadapanku. Meski sebenarnya aku tahu ia pergi kemana,tapi aku tetap menyebut bahwa ia hilang. Aku tak dapat melihat senyumnya lagi. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaannya. Aku ingin melihatnya.

Dan perasaan ini masih tetap ada. Entah bagaimana bisa aku tetap menyimpannya.

Saat kelulusan SMA,terasa begitu sepi tanpanya. Padahal dulu,aku membayangkan bagaimana tawa bahagianya saat kelulusan. Tersenyum senang bersamanya saat menerima kelulusan. Tapi kenyataannya,saat itu ia tak ada disampingku. Terasa datar,biasa saja. Entah jauh disana ia menerima kelulusan juga atau tidak. Apa ia masih melanjutkan sekolahnya saat di rehab?

Hujan hari ini tidak bersahabat.Ditimpali dengan angin kencang.Hari itu aku pulang dari wawancara kerja di sebuah perusahaan majalah,aku mengajukan diri sebagai editor.Semoga saja aku diterima.

Hingga detik ini,Agi tak ada lagi kabarnya. Apa di Qatar dia sudah kerja juga?Mungkin saja ia bekerja dengan Ibunya di bidang yang sama.

“Ojek payung mbak?” suara itu mengejutkanku. Seorang laki-laki dengan topi hitam berdiri di depanku,ia begitu tinggi. Wajahnya tidak terlalu jelas,ia menunduk dan terhalang oleh payung.

“Gak,mas.Makasih.” jawabku. Lalu ia melepas topinya dan tersenyum padaku. Se-senyum itu…? Aku terpaku. Senyum yang paling kurindukan,senyum yang tak terlupakan,senyum yang…membuatku jatuh cinta.

“I miss you.” Ucapnya. Aku masih terpaku.

“A-agi..?” tanyaku bingung,masih tak percaya bahwa dia kini berada di hadapanku. Ia tampak lebih tampan,dengan cardigan biru tuanya,warna favoritnya. Ia masih terus tersenyum padaku. Aku masih bingung,rasanya aku ingin berteriak namun tertahan di tenggorokan. Ia menaruh kedua tangannya di bahuku,menatapku tepat di kedua mataku.

“Ini aku,Adel.” Ucapnya dengan menyebut dirinya ‘aku’,bukan ‘gue’ lagi. Hal apalagi yang berubah dari dirinya. Aku masih tetap terdiam.

“Adel!Kamu masih gak percaya ini aku?” seru Agi. Aku tetap terdiam,aku syok.

 Lalu ia memelukku,erat. Dapat kucium harum parfumnya,sama seperti dulu. Kedua lenganku yang awalnya kaku,perlahan memeluk dirinya. Ini Agi yang kurindukan. Agi yang telah kuanggap hilang,Agi yang dulu aku sukai. Sang pemeran utama.

“Aku kangen kamu,Del.Setiap hari aku mikirin kamu,aku jujur,kamu harus percaya itu,” Iya Agi,aku percaya,karena aku juga seperti itu.

Ia terus memelukku erat,membiarkan hujan membasahi tubuhnya dan tubuhku sedikit,karena ku terlindung oleh kanopi halte.

“Aku udah sembuh sekarang,aku udah sehat lagi!Kamu harus percaya itu,” Aku percaya Agi.

“Aku sayang sama kamu.Kamu harus percaya itu,” Aku perca…apa?!

Aku menarik diriku dari pelukannya,ia tampak kaget.

“Kenapa,Del?” tanya Agi.

“Kamu,k-kamu sayang sama aku?!” tanyaku kaget. Agi tersenyum dan mengangguk.

“Kamu juga kan?” tanya Agi dengan senyum cerianya. Aku diam,malu.

“Aku tau kok,dari dulu malah.Eits,jangan pikir aku sayang sama kamunya baru sekarang aja.Dari dulu juga aku sayang sama kamu,Adel..” ucapnya.
***

 Xoxo,
Aza^^


Tidak ada komentar:

Posting Komentar