Sabtu, 16 Juli 2011

Dan Bulan Juga Menemanimu

Bulan masih terlihat terang benderang di atas sana. Meskipun bulan dapat pantulan cahaya dari matahari, bulan tetap terlihat cantik. Ya,walaupun bulan mendapat pinjaman cahaya. Aku tertarik pada bulan. Entahlah, aku bisa memandangi bulan selama yang aku mau. Bulan bisa membuatku tenang.

Biasanya, aku memandangi bulan di loteng rumah ditemani se-cangkir kopi hangat.

“Sudah, ini kopimu yang terakhir.” Ucapnya mengejutkanku. Ternyata dia masih berada di sampingku.

Aku menoleh dan menatapnya tak peduli.

“Kamu harus tidur yang cukup untuk malam ini.” Ucapnya lagi.

“Aku belum ngantuk.” Jawabku. Dia menarik tangan kanannku sehingga aku menatapnya. Dia menatapku tajam, tepat di kedua mataku.

“Jangan menyiksa dirimu sendiri.” Ucapnya tegas. Aku mengibaskan cengkeramannya yang begitu kuat.

Aku tak menjawab. Semilir angin memecah keheningan.

“Aku peduli padamu.” Ucapnya lembut.

“Oh ya? Dan aku tidak peduli!” Aku dapat merasakan tarikan napasku yang sangat kuat.

“Aku sayang padamu..” ucapnya lagi.

“Dan aku-“ Ah tidak, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Aku juga sangat menyayanginya.

Dia tertawa kecil, aku menoleh dan dia tersenyum padaku. With two dimples on his cheeks.

“Kamu tahu, aku akan tetap di sini bersamamu, jika kamu memang belum ngantuk.” Ucapnya.

“Dan bulan juga menemaniku.” Tambahku.

“Baiklah,baiklah…bulan juga. Jadi, aku dan bulan akan menemanimu.” Balasnya. Aku hanya bisa diam, meski aku ingin tersenyum sebenarnya.

Bulan bersinar dan dia juga. Yang berbeda hanyalah, bagaimana mereka dapat bersinar.

Bulan…seperti yang aku katakana tadi, bulan bersinar karena pantulan cahaya dari matahari. Sedangkan dia… Dia bersinar karena… senyumnya. Dia tidak mendapat pantulan darimanapun. Mungkin jika dia menjadi benda yang bersinar di langit, dia akan menjadi yang paling terang… Tapi, aku tak ingin membagi sinarnya kepada yang lain, sinarnya hanya milikku, untukku… apa aku sudah cukup menjadi egois?

Dia menepuk pundakku pelan.

“Tidurlah, bulan tidak akan pergi meskipun kamu tidur.” Ucapnya. Aku menolehnya dan tak terima dengan ucapannya.

“Oh ya?Bulan akan menghilang saat pagi datang.” Protesku. Dia hanya tersenyum.

“Jadi, kamu hanya menyukai bulan saat malam hari saja? Kamu berhenti menyukainya saat pagi datang? Apa benar begitu?” tanyanya.

“Hah? Bukan, bukan begitu…aaaa sudahlah,aku tidak mengerti apa yang kamu katakan!” seruku kesal. Dia tertawa.

“Bulan tidak akan menghilang saat pagi datang. Dia hanya bersembunyi, dia memberi kesempatan pada matahari untuk bersinar. Dia harus berbuat baik pada matahari karena matahari telah meminjamkan sinarnya untuk bulan. “ tuturnya.

Aku menatapnya, dia menatapku.

“Apa kamu akan selalu seperti ini?” tanyaku.

“Seperti…bagaimana?” tanyanya balik. Aku tersenyum senang, dia tak mengerti dengan pertanyaanku.

“Selalu berbicara dengan bahasa yang sangat tinggi, bahasamu membuatku tampak bodoh. Bodoh sekali. Kau meremehkanku? Atau sengaja ingin aku terlihat bodoh? Begitu maksudmu?” tanyaku.

“Apa-“

“Ya, kau selalu membuatku merasa bodoh.”

“Jangan panggil aku dengan ‘kau’.” Ucapnya. Aku menaikkan alisku.

“Kenapa? Karena kau lebih tua dariku? Karena KAU, lebih dewasa dariku? Begitu? Ha-ha, tidak dapat dipercaya!”

Dia menatapku sebentar lalu tertawa. Dia masih bisa tertawa?! Setelah aku menggertaknya? Hah..apa maksudnya..

“Kamu memang lebih muda dariku, dan kamu harus menghormatiku.” Ucapnya.

“Dengan pacar sendiri?!” tanyaku protes.

“Ya, meski dengan pacarmu sendiri. Memangnya kamu ingin memperlakukanku seperti apa? Pembantu? Anak kecil? Begitu?” tanyanya balik menyerangku. Aku hanya bisa diam.

“Oh ya, syukurlah kamu masih menganggapku pacar. Ku kira cintamu hanya untuk bulan.” Tambahnya.

“Ckck..” decakku.

“Kamu mau aku berselingkuh dengan bulan hah?” Dia tertawa lepas. Matanya meyipit dan pipinya memerah sedikit. Tawa itu menyejukkanku.

“Don’t even try.” Balasnya dan berhenti tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 16 Juli 2011

Dan Bulan Juga Menemanimu

Bulan masih terlihat terang benderang di atas sana. Meskipun bulan dapat pantulan cahaya dari matahari, bulan tetap terlihat cantik. Ya,walaupun bulan mendapat pinjaman cahaya. Aku tertarik pada bulan. Entahlah, aku bisa memandangi bulan selama yang aku mau. Bulan bisa membuatku tenang.

Biasanya, aku memandangi bulan di loteng rumah ditemani se-cangkir kopi hangat.

“Sudah, ini kopimu yang terakhir.” Ucapnya mengejutkanku. Ternyata dia masih berada di sampingku.

Aku menoleh dan menatapnya tak peduli.

“Kamu harus tidur yang cukup untuk malam ini.” Ucapnya lagi.

“Aku belum ngantuk.” Jawabku. Dia menarik tangan kanannku sehingga aku menatapnya. Dia menatapku tajam, tepat di kedua mataku.

“Jangan menyiksa dirimu sendiri.” Ucapnya tegas. Aku mengibaskan cengkeramannya yang begitu kuat.

Aku tak menjawab. Semilir angin memecah keheningan.

“Aku peduli padamu.” Ucapnya lembut.

“Oh ya? Dan aku tidak peduli!” Aku dapat merasakan tarikan napasku yang sangat kuat.

“Aku sayang padamu..” ucapnya lagi.

“Dan aku-“ Ah tidak, aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Aku juga sangat menyayanginya.

Dia tertawa kecil, aku menoleh dan dia tersenyum padaku. With two dimples on his cheeks.

“Kamu tahu, aku akan tetap di sini bersamamu, jika kamu memang belum ngantuk.” Ucapnya.

“Dan bulan juga menemaniku.” Tambahku.

“Baiklah,baiklah…bulan juga. Jadi, aku dan bulan akan menemanimu.” Balasnya. Aku hanya bisa diam, meski aku ingin tersenyum sebenarnya.

Bulan bersinar dan dia juga. Yang berbeda hanyalah, bagaimana mereka dapat bersinar.

Bulan…seperti yang aku katakana tadi, bulan bersinar karena pantulan cahaya dari matahari. Sedangkan dia… Dia bersinar karena… senyumnya. Dia tidak mendapat pantulan darimanapun. Mungkin jika dia menjadi benda yang bersinar di langit, dia akan menjadi yang paling terang… Tapi, aku tak ingin membagi sinarnya kepada yang lain, sinarnya hanya milikku, untukku… apa aku sudah cukup menjadi egois?

Dia menepuk pundakku pelan.

“Tidurlah, bulan tidak akan pergi meskipun kamu tidur.” Ucapnya. Aku menolehnya dan tak terima dengan ucapannya.

“Oh ya?Bulan akan menghilang saat pagi datang.” Protesku. Dia hanya tersenyum.

“Jadi, kamu hanya menyukai bulan saat malam hari saja? Kamu berhenti menyukainya saat pagi datang? Apa benar begitu?” tanyanya.

“Hah? Bukan, bukan begitu…aaaa sudahlah,aku tidak mengerti apa yang kamu katakan!” seruku kesal. Dia tertawa.

“Bulan tidak akan menghilang saat pagi datang. Dia hanya bersembunyi, dia memberi kesempatan pada matahari untuk bersinar. Dia harus berbuat baik pada matahari karena matahari telah meminjamkan sinarnya untuk bulan. “ tuturnya.

Aku menatapnya, dia menatapku.

“Apa kamu akan selalu seperti ini?” tanyaku.

“Seperti…bagaimana?” tanyanya balik. Aku tersenyum senang, dia tak mengerti dengan pertanyaanku.

“Selalu berbicara dengan bahasa yang sangat tinggi, bahasamu membuatku tampak bodoh. Bodoh sekali. Kau meremehkanku? Atau sengaja ingin aku terlihat bodoh? Begitu maksudmu?” tanyaku.

“Apa-“

“Ya, kau selalu membuatku merasa bodoh.”

“Jangan panggil aku dengan ‘kau’.” Ucapnya. Aku menaikkan alisku.

“Kenapa? Karena kau lebih tua dariku? Karena KAU, lebih dewasa dariku? Begitu? Ha-ha, tidak dapat dipercaya!”

Dia menatapku sebentar lalu tertawa. Dia masih bisa tertawa?! Setelah aku menggertaknya? Hah..apa maksudnya..

“Kamu memang lebih muda dariku, dan kamu harus menghormatiku.” Ucapnya.

“Dengan pacar sendiri?!” tanyaku protes.

“Ya, meski dengan pacarmu sendiri. Memangnya kamu ingin memperlakukanku seperti apa? Pembantu? Anak kecil? Begitu?” tanyanya balik menyerangku. Aku hanya bisa diam.

“Oh ya, syukurlah kamu masih menganggapku pacar. Ku kira cintamu hanya untuk bulan.” Tambahnya.

“Ckck..” decakku.

“Kamu mau aku berselingkuh dengan bulan hah?” Dia tertawa lepas. Matanya meyipit dan pipinya memerah sedikit. Tawa itu menyejukkanku.

“Don’t even try.” Balasnya dan berhenti tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar