Sabtu, 25 Juni 2011

I SEE YOU – PART.2

Aku dan Horan sedang berjalan menuju rumah, kami baru saja pulang dari sekolah kami masing-masing.
Ya, akhir-akhir ini kami sering janjian untuk pulang bersama.
Aku bahagia J
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku menggenggam tangan Horan dengan kuat dan berlari menuju halte bus. Dan kami berteduh.

“Hujannya deras sekali,ckckc…” ucapku.
“Bagaimana ini? Aku harus segera pulang,” tanya Horan. Aku menoleh dan terdiam.
“Ini salahku tidak bawa payung. Ku kira cuaca hari ini akan cerah sampai sore.Maaf ya,” jawabku.
Horan mendekat padaku dan kepalanya bersandar di lenganku, dia mendongak dan tersenyum. Manis sekali.
“Tidak apa-apa.” Ucapnya.
“Ibumu pasti memarahiku,ckckc..” ucapku.
Horan tertawa dan memukul lenganku pelan.
“Tenang, aku yang akan menjelaskannya.” Balasnya.

Aku menatapnya dan tersenyum. Aku menatap tepat di kedua matanya. Matanya yang bulat dan begitu jernih. Aku baru sadar Horan memiliki mata yang indah, yang paling indah.

“Apa kita lari saja sampai ke rumah?” tanya Horan.
“Apa?Tidak-tidak, kita menunggu saja.Aku tak mau Ibumu melihatmu basah kuyup sampai rumah!” jawabku menolak tawaran Horan.

Dia bergumam dan menunduk.

“Tapi aku ingin pulang!” serunya.
“Tunggulah sebentar, pasti hujannya akan reda!” balasku.
Horan mengangkat kepalanya dari lenganku dan menatapku.
“Kenapa jadi teriak-teriak padaku?!” tanyanya kesal.
“Kau duluan yang berteriak padaku!” jawabku juga ikut kesal.
“Aku pulang sendiri saja!!!” teriak Horan lalu dengan cepat berjalan menjauhiku.
“Eh,jangan!!” teriakku mengejar dan menarik lengannya, tak kusangka tarikanku akan begitu kuat… hingga kami berpelukan.

Deg..deg..deg..deg.. Jantungku berdetak begitu keras.

Tak ada yang bicara ataupun bergerak. Hanya terdengar suara hujan..

“San..bisa lepaskan aku?” tanya Horan tiba-tiba mengeluarkan suara.
“Ah,iya!” jawabku lalu melepaskannya.
“San..tanganmu.” ucapnya. Aku diam, lalu kulihat tanganku masih memegang lengannya.
“Ah,maaf!” ucapku melepaskan tanganku.
***

“Aku pulang.” Ucapku begitu masuk ke dalam rumah.
“San, kau baru pulang?” tanya Ibu menghampiriku. Dari suaranya Ibu terdengar begitu cemas.
Aku mengangguk.
“Kau darimana saja?!” tanya Ibu sembari memukul keningku. SAKIT!!!
“Ibu! Apa-apaan sih! Malah memukulku! Sakit Bu!” seruku kesal.
“Dia pasti pacaran dulu tuh dengan tetangga sebelah!” seru kakak muncul dari kamarnya.
“Benar begitu,San?!” tanya Ibu.

Aku menatap kakak dan memelototinya kesal.

“Kau! Jawab saja pertanyaan Ibu!” seru Ibu memukul keningku lagi.
“Iya,iya, tak usah memukulku lagi! Tadi aku terjebak hujan deras, jadi aku meneduh dulu!” jawabku.
Ibu manggut-mangggut lalu menatapku,
“Ya sudah, cepat mandi lalu makan malam!”
“Baik,Bu.” Jawabku.

***
Aku dan Horan sedang berjalan sambil memakan es krim kami masing-masing. Tangan kananku memegang es krim, sedang tangan kiriku menggenggam tangannya.

“Awas, es krimnya masuk ke hidungmu.” Gurauku.
“Ha-ha, lucu sekali.” Balasnya datar.
“Hahaha..aku kan hanya main-main.” Ucapku.
“Aku sangat suka es krim. Mulutku takkan mungkin membiarkan es krim ini masuk ke hidung.” Ucapnya sembari tersenyum.

“Benarkah?” tanyaku menggodanya.
“Iya!” jawab Horan kesal.
“Bagaimana kalau begini,” ucapku mendorong es krim ke hidungnya.
“HAHAHAHA!” Tawaku puas melihat ada es krim yang menempel di hidungnya.
“SAN!!!” seru Horan sembari mengelap hidungnya.
Aku masih tertawa tanpa mempedulikannya.
***

Setelah makan es krim, aku dan Horan duduk di bangku taman favorit kami. Menikmati sore ini.

“San,” panggil Horan.
“Ya?” tanyaku. Horan menatapku.
“Kalau nanti aku bisa melihat, apa kau akan tetap di sampingku?” tanyanya.
Aku tersenyum,”Tentu saja.” Jawabku dengan sangat yakin.

Lalu dia terdiam.

“Ada apa Horan?” tanyaku hati-hati.
“Hm?Tidak,tidak ada apa-apa.” Jawabnya sembari tersenyum. Senyum yang terlihat hambar.
“Katakan saja.” Ucapku. Horan tetap diam.
“Horan, aku menunggu.” Ucapku tegas.

Horan meraih telapak tanganku lalu kedua telapak tangannya menggenggam telapak tanganku dengan 
kuat.

Dia menatapku. Matanya berkaca-kaca.

“Aku..aku akan segera melihatmu,San..” ucapnya.
“Maksudmu…?”
“Donor kornea mata untukku sudah ada.” Jawabnya.

Aku terkejut mendengarnya.

“Sungguh?” tanyaku antusias. Horan mengangguk pelan dan terdiam.
“Kau kenapa?” tanyaku hati-hati.
“Itu berarti aku akan jauh darimu,San.” Jawabnya menatapku, matanya masih berkaca-kaca.
“Sudahlah, yang terpenting kau bisa melihat..” ucapku menggenggam tangannya erat. Horan tersenyum dan menunduk,
“Tapi, Kanada itu jauh.” Ucapnya.
“Apa? Kanada?!” teriakku. Horan bergetar, dia tampaknya kaget melihatku teriak seperti itu.
“Eh maaf,” ucapku pelan.
Horan menggeleng,”Tidak apa-apa. Iya, operasinya akan dilaksanakan di sana.”
“Jauh sekali..” gumamku.
“Kau mau aku tidak pergi?” tanya Horan.
“Ah? Tidak-tidak, kau harus pergi. Mana mungkin aku menahanmu di sini.” Jawabku.
Horan tersenyum.
“Aku pasti merindukanmu,San.” Ucapnya pelan. Aku menoleh, dia tersenyum dan pipinya memerah. Aku jadi ikut tersenyum dan wajahku juga terasa panas.
“Aku pun pasti.” Balasku.

Kami pun saling terdiam. Setelah kalimat terakhirku tadi, aku tak tahu mau bilang apalagi. Sepertinya dia juga begitu…

Angin berhembus menerpa kami.

Hari semakin gelap. Langit mulai memerah, begitu cantik. Ah.. sebentar lagi kau akan melihat betapa indahnya langit di sore hari Horan..

“Kau akan menungguku kan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh, menatap wajahnya dalam-dalam. Entah kenapa, pertanyaannya tadi terasa begitu dalam sampai ke hatiku.

“Tentu saja.” Jawabku.
“Kau selalu menjawab tentu saja!” serunya. Aku tertawa.
“Memangnya kenapa?” tanyaku tak terima.

Horan hanya menggelengkan kepalanya.

“Oh iya, Ibuku bilang.. selain untuk operasi.. aku akan melanjutkan sekolah di sana..”
“Kau? Sekolah di sana? Menetap di sana?” tanyaku.

Jantungku berdetak lebih cepat.

“Sepertinya begitu.” Jawab Horan.
“Sampai kapan?” tanyaku.

Jantungku semakin berdetak lebih cepat.

“Entahlah,” jawabnya pelan.

Kami saling terdiam..

Aku menengadah ke langit dan menghela napas.

“Aku akan pergi minggu depan.” Ucap Horan.
“Yah..setidaknya kita masih punya waktu lima hari lagi.” Balasku.
“Kau benar-benar tidak mau menahanku di sini?” tanyanya.
“Sudah ku bilang tentu saja tidak! Ini untuk kebaikanmu, mana mungkin aku bisa menahanmu!’ seruku.
Horan tersenyum, manis…sekali.
“Sepertinya kita harus segera pulang, langit mulai semakin gelap.” Ajakku. Horan hanya mengangguk.
***

Horan’s P.O.V
Saat keluar dari gerbang, terdengar langkah kaki mendekatiku. Itu pasti San. Aku tersenyum.

“Pasti kau sudah tahu ini aku,” ucapnya.
“Haha.. iya.” Jawabku tak dapat menahan tawa.

Lalu San mengamit tanganku dan mengajakku pergi.
Di sepanjang perjalanan terasa begitu sunyi.. hanya terdengar suara tongkatku. San diam sekali hari ini..

“San?” panggilku.
“Ya?” sahutnya.
“Kau diam sekali.. Kenapa?” tanyaku.
“Ah tidak-“
“Jangan bohong!” seruku memotong kalimatnya.
“Hmm terserah kau saja..” balasnya.

Tumben sekali San bilang terserah, biasanya dia tidak mau kalah..

Pasti ada sesuatu.

“Kita ke taman dulu ya?” tawar San. Aku tersenyum dan mengangguk senang.
***

Hmm.. aku senang sekali berada di atmosfer seperti ini. Udara di taman begitu sejuk. Pasti di sini banyak tumbuhan hijau, jadi banyak oksigen..

Aku tak sabar untuk melihat taman ini.. pasti indah.. apalagi dengan San di sampingku..

Ah iya, bicara tentang San.. semenjak duduk di bangku taman, dia hanya diam, entah apa yang sedang dia pikirkan.. yang pasti aku yakin itu mengganggunya.

Ternyata rasanya gak enak juga ya. Tidak dipedulikan.

Sunyi.

“Saaaan.. kau ini kenapa sih?! Kenapa diam terus? Kau membuatku bingung!” tanyaku kesal, lebih tepatnya putus asa.

Aku tak mendengar jawaban apa-apa. Namun, tiba-tiba San menarik lenganku dan dia… dia memelukku…

“Kau ini… daritadi bertanya terus aku kenapa. Diamlah sebentar.” Ucapnya.
“San aku-“
"Ku mohon diam ya, 2 menit saja.” Ucapnya memotong kalimatku.
“San..”
“Biarkan aku memelukmu. Diamlah.” Ucapnya lagi.

Ada sesuatu yang berdetak dengan cepat di sini.. di jantungku. Seperti ada yang memompa jantungku begitu cepat.

Napasku terasa sesak dan.. aku merasa wajahku memanas.

Aku merindukannya. Ya ini aneh, aku merindukannya meskipun kini dia berada di hadapanku.

Kemudian San melepaskan pelukannya. Dia menghela napas.

“2 menitnya sudah habis.” Ucapnya. Aku tersenyum.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sabtu, 25 Juni 2011

I SEE YOU – PART.2

Aku dan Horan sedang berjalan menuju rumah, kami baru saja pulang dari sekolah kami masing-masing.
Ya, akhir-akhir ini kami sering janjian untuk pulang bersama.
Aku bahagia J
Tiba-tiba hujan turun dengan deras. Aku menggenggam tangan Horan dengan kuat dan berlari menuju halte bus. Dan kami berteduh.

“Hujannya deras sekali,ckckc…” ucapku.
“Bagaimana ini? Aku harus segera pulang,” tanya Horan. Aku menoleh dan terdiam.
“Ini salahku tidak bawa payung. Ku kira cuaca hari ini akan cerah sampai sore.Maaf ya,” jawabku.
Horan mendekat padaku dan kepalanya bersandar di lenganku, dia mendongak dan tersenyum. Manis sekali.
“Tidak apa-apa.” Ucapnya.
“Ibumu pasti memarahiku,ckckc..” ucapku.
Horan tertawa dan memukul lenganku pelan.
“Tenang, aku yang akan menjelaskannya.” Balasnya.

Aku menatapnya dan tersenyum. Aku menatap tepat di kedua matanya. Matanya yang bulat dan begitu jernih. Aku baru sadar Horan memiliki mata yang indah, yang paling indah.

“Apa kita lari saja sampai ke rumah?” tanya Horan.
“Apa?Tidak-tidak, kita menunggu saja.Aku tak mau Ibumu melihatmu basah kuyup sampai rumah!” jawabku menolak tawaran Horan.

Dia bergumam dan menunduk.

“Tapi aku ingin pulang!” serunya.
“Tunggulah sebentar, pasti hujannya akan reda!” balasku.
Horan mengangkat kepalanya dari lenganku dan menatapku.
“Kenapa jadi teriak-teriak padaku?!” tanyanya kesal.
“Kau duluan yang berteriak padaku!” jawabku juga ikut kesal.
“Aku pulang sendiri saja!!!” teriak Horan lalu dengan cepat berjalan menjauhiku.
“Eh,jangan!!” teriakku mengejar dan menarik lengannya, tak kusangka tarikanku akan begitu kuat… hingga kami berpelukan.

Deg..deg..deg..deg.. Jantungku berdetak begitu keras.

Tak ada yang bicara ataupun bergerak. Hanya terdengar suara hujan..

“San..bisa lepaskan aku?” tanya Horan tiba-tiba mengeluarkan suara.
“Ah,iya!” jawabku lalu melepaskannya.
“San..tanganmu.” ucapnya. Aku diam, lalu kulihat tanganku masih memegang lengannya.
“Ah,maaf!” ucapku melepaskan tanganku.
***

“Aku pulang.” Ucapku begitu masuk ke dalam rumah.
“San, kau baru pulang?” tanya Ibu menghampiriku. Dari suaranya Ibu terdengar begitu cemas.
Aku mengangguk.
“Kau darimana saja?!” tanya Ibu sembari memukul keningku. SAKIT!!!
“Ibu! Apa-apaan sih! Malah memukulku! Sakit Bu!” seruku kesal.
“Dia pasti pacaran dulu tuh dengan tetangga sebelah!” seru kakak muncul dari kamarnya.
“Benar begitu,San?!” tanya Ibu.

Aku menatap kakak dan memelototinya kesal.

“Kau! Jawab saja pertanyaan Ibu!” seru Ibu memukul keningku lagi.
“Iya,iya, tak usah memukulku lagi! Tadi aku terjebak hujan deras, jadi aku meneduh dulu!” jawabku.
Ibu manggut-mangggut lalu menatapku,
“Ya sudah, cepat mandi lalu makan malam!”
“Baik,Bu.” Jawabku.

***
Aku dan Horan sedang berjalan sambil memakan es krim kami masing-masing. Tangan kananku memegang es krim, sedang tangan kiriku menggenggam tangannya.

“Awas, es krimnya masuk ke hidungmu.” Gurauku.
“Ha-ha, lucu sekali.” Balasnya datar.
“Hahaha..aku kan hanya main-main.” Ucapku.
“Aku sangat suka es krim. Mulutku takkan mungkin membiarkan es krim ini masuk ke hidung.” Ucapnya sembari tersenyum.

“Benarkah?” tanyaku menggodanya.
“Iya!” jawab Horan kesal.
“Bagaimana kalau begini,” ucapku mendorong es krim ke hidungnya.
“HAHAHAHA!” Tawaku puas melihat ada es krim yang menempel di hidungnya.
“SAN!!!” seru Horan sembari mengelap hidungnya.
Aku masih tertawa tanpa mempedulikannya.
***

Setelah makan es krim, aku dan Horan duduk di bangku taman favorit kami. Menikmati sore ini.

“San,” panggil Horan.
“Ya?” tanyaku. Horan menatapku.
“Kalau nanti aku bisa melihat, apa kau akan tetap di sampingku?” tanyanya.
Aku tersenyum,”Tentu saja.” Jawabku dengan sangat yakin.

Lalu dia terdiam.

“Ada apa Horan?” tanyaku hati-hati.
“Hm?Tidak,tidak ada apa-apa.” Jawabnya sembari tersenyum. Senyum yang terlihat hambar.
“Katakan saja.” Ucapku. Horan tetap diam.
“Horan, aku menunggu.” Ucapku tegas.

Horan meraih telapak tanganku lalu kedua telapak tangannya menggenggam telapak tanganku dengan 
kuat.

Dia menatapku. Matanya berkaca-kaca.

“Aku..aku akan segera melihatmu,San..” ucapnya.
“Maksudmu…?”
“Donor kornea mata untukku sudah ada.” Jawabnya.

Aku terkejut mendengarnya.

“Sungguh?” tanyaku antusias. Horan mengangguk pelan dan terdiam.
“Kau kenapa?” tanyaku hati-hati.
“Itu berarti aku akan jauh darimu,San.” Jawabnya menatapku, matanya masih berkaca-kaca.
“Sudahlah, yang terpenting kau bisa melihat..” ucapku menggenggam tangannya erat. Horan tersenyum dan menunduk,
“Tapi, Kanada itu jauh.” Ucapnya.
“Apa? Kanada?!” teriakku. Horan bergetar, dia tampaknya kaget melihatku teriak seperti itu.
“Eh maaf,” ucapku pelan.
Horan menggeleng,”Tidak apa-apa. Iya, operasinya akan dilaksanakan di sana.”
“Jauh sekali..” gumamku.
“Kau mau aku tidak pergi?” tanya Horan.
“Ah? Tidak-tidak, kau harus pergi. Mana mungkin aku menahanmu di sini.” Jawabku.
Horan tersenyum.
“Aku pasti merindukanmu,San.” Ucapnya pelan. Aku menoleh, dia tersenyum dan pipinya memerah. Aku jadi ikut tersenyum dan wajahku juga terasa panas.
“Aku pun pasti.” Balasku.

Kami pun saling terdiam. Setelah kalimat terakhirku tadi, aku tak tahu mau bilang apalagi. Sepertinya dia juga begitu…

Angin berhembus menerpa kami.

Hari semakin gelap. Langit mulai memerah, begitu cantik. Ah.. sebentar lagi kau akan melihat betapa indahnya langit di sore hari Horan..

“Kau akan menungguku kan?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menoleh, menatap wajahnya dalam-dalam. Entah kenapa, pertanyaannya tadi terasa begitu dalam sampai ke hatiku.

“Tentu saja.” Jawabku.
“Kau selalu menjawab tentu saja!” serunya. Aku tertawa.
“Memangnya kenapa?” tanyaku tak terima.

Horan hanya menggelengkan kepalanya.

“Oh iya, Ibuku bilang.. selain untuk operasi.. aku akan melanjutkan sekolah di sana..”
“Kau? Sekolah di sana? Menetap di sana?” tanyaku.

Jantungku berdetak lebih cepat.

“Sepertinya begitu.” Jawab Horan.
“Sampai kapan?” tanyaku.

Jantungku semakin berdetak lebih cepat.

“Entahlah,” jawabnya pelan.

Kami saling terdiam..

Aku menengadah ke langit dan menghela napas.

“Aku akan pergi minggu depan.” Ucap Horan.
“Yah..setidaknya kita masih punya waktu lima hari lagi.” Balasku.
“Kau benar-benar tidak mau menahanku di sini?” tanyanya.
“Sudah ku bilang tentu saja tidak! Ini untuk kebaikanmu, mana mungkin aku bisa menahanmu!’ seruku.
Horan tersenyum, manis…sekali.
“Sepertinya kita harus segera pulang, langit mulai semakin gelap.” Ajakku. Horan hanya mengangguk.
***

Horan’s P.O.V
Saat keluar dari gerbang, terdengar langkah kaki mendekatiku. Itu pasti San. Aku tersenyum.

“Pasti kau sudah tahu ini aku,” ucapnya.
“Haha.. iya.” Jawabku tak dapat menahan tawa.

Lalu San mengamit tanganku dan mengajakku pergi.
Di sepanjang perjalanan terasa begitu sunyi.. hanya terdengar suara tongkatku. San diam sekali hari ini..

“San?” panggilku.
“Ya?” sahutnya.
“Kau diam sekali.. Kenapa?” tanyaku.
“Ah tidak-“
“Jangan bohong!” seruku memotong kalimatnya.
“Hmm terserah kau saja..” balasnya.

Tumben sekali San bilang terserah, biasanya dia tidak mau kalah..

Pasti ada sesuatu.

“Kita ke taman dulu ya?” tawar San. Aku tersenyum dan mengangguk senang.
***

Hmm.. aku senang sekali berada di atmosfer seperti ini. Udara di taman begitu sejuk. Pasti di sini banyak tumbuhan hijau, jadi banyak oksigen..

Aku tak sabar untuk melihat taman ini.. pasti indah.. apalagi dengan San di sampingku..

Ah iya, bicara tentang San.. semenjak duduk di bangku taman, dia hanya diam, entah apa yang sedang dia pikirkan.. yang pasti aku yakin itu mengganggunya.

Ternyata rasanya gak enak juga ya. Tidak dipedulikan.

Sunyi.

“Saaaan.. kau ini kenapa sih?! Kenapa diam terus? Kau membuatku bingung!” tanyaku kesal, lebih tepatnya putus asa.

Aku tak mendengar jawaban apa-apa. Namun, tiba-tiba San menarik lenganku dan dia… dia memelukku…

“Kau ini… daritadi bertanya terus aku kenapa. Diamlah sebentar.” Ucapnya.
“San aku-“
"Ku mohon diam ya, 2 menit saja.” Ucapnya memotong kalimatku.
“San..”
“Biarkan aku memelukmu. Diamlah.” Ucapnya lagi.

Ada sesuatu yang berdetak dengan cepat di sini.. di jantungku. Seperti ada yang memompa jantungku begitu cepat.

Napasku terasa sesak dan.. aku merasa wajahku memanas.

Aku merindukannya. Ya ini aneh, aku merindukannya meskipun kini dia berada di hadapanku.

Kemudian San melepaskan pelukannya. Dia menghela napas.

“2 menitnya sudah habis.” Ucapnya. Aku tersenyum.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar